Eza
(bukan nama sebenarnya) adalah seorang remaja lelaki yang baik. Usianya baru
menginjak 15 tahun. Di salah satu tempat Bimbel (bimbingan belajar) yang berada
di pinggiran jalanan di Kota Serang (Kota Serang, Banten) itu ia sengaja
mendaftarkan diri untuk mendapat pengajaran terkait persiapan UN dan persiapan
masuk SMA. Sudah 3 bulan ia mengikuti program persiapan tersebut.
Di
tempat bimbelnya Eza dikenal cukup populer. Perawakan badannya yang lumayan
tinggi semampai membuat ia mudah dikenali teman-temannya. Wajahnya mudah
dikenali. Terkadang ia memakai kacamata untuk membantunya mengatasi matanya
yang sudah minus. Selain itu Eza juga terbilang cukup nyentrik untuk ukuran
anak kelas 9 SMP. Setiap datang ke tempat bimbel, ia selalu membawa motor
kesayangnnya. Motornya lumayan bagus untuk ukuran anak SMP. Gadis-gadis yang
melihatnya pasti sesekali ingin minta dibonceng atau diantar olehnya.
Eza
adalah tipe remaja yang ideal lagi ramah. Karena keramahannya itulah ia mudah
memiliki teman dari berbagai sekolah lain di Kotanya. Maklum, yang mengikuti
program persiapan tersebut ialah siswa-siswi dari berbagai SMP yang ada di Kota
Serang. Beberapa teman yang sering terlihat membersamai Eza adalah Billy dan
Wisnu. Billy kebetulan merupakan teman satu sekolah Eza. Sementara Wisnu adalah
teman yang berbeda sekolah. Wisnu dikenal agak urakan. Beberapa kali ia
terlihat bolos bimbel. Teman-teman belajarnya di tempat bimbel pun seolah sudah
mengenali karakter wisnu yang demikian.
Namun
meski karakter Wisnu begitu, Eza seolah tidak menghiraukannya. Ia masih seolah
tahan berteman dengannya. Sesekali Wisnu suka terlihat minta diberi jajanan
kepada Eza, namun Eza dengan ramah memberi jajanan yang dibelinya itu. Ya,
selain ramah Eza memang dikenal sebagai anak dari keluarga yang mampu. Jadi,
uang bukanlah hal yang sulit untuknya. Orang tua Eza selalu menuruti apa pun
permintaan Eza. Sikap memanjakan orang tuanya itulah yang secara tidak langsung
menjadikan Eza memiliki sikap tidak bertanggung jawab terhadap apa-apa yang
diamanahkan oleh orang tuanya kepadanya.
Suatu
waktu, Wisnu mendekati Eza untuk mengutarakan niatnya.
“Za,
gue boleh pinjem motor lo nggak sebentar ?” pinta Wisnu.
Sambil
duduk di kursi, Eza lalu mengangguki permintaan Wisnu tersebut dengan mudahnya.
Eza
kemudian menyodorkan kunci motornya seraya berpesan, “Emangnya lo mau kemana
sih ? Mau mabal (bolos) pelajaran bimbel lagi yah ? Nih, kunci motor gue. Tapi
inget, sebelum magrib (sebelum pulang bimbel), lo harus udah balik ke sini yah
!”
“Siap
!” Wisnu langsung mengambil kunci itu dan pergi.
Berjam
-jam telah berlalu. Langit yang sebelumnya kelihatan cerah sekarang terlihat
mulai merah senja. Sebentar lagi maghrib. Tapi Wisnu tak kunjung datang kembali.
Di depan gedung tempat bimbel, siswa-siswi terlihat mulai pulang satu persatu.
Tetapi Eza dan Billy masih berdiri di sana.
“Za,
lo harusnya jangan kasih pinjem motor ke Wisnu. Dia kan anaknya urakan, suka
ngebut-ngebutan lagi.” Sahut Billy kesal.
Eza
hanya termenung diam. Dirinya pun di dalam hatinya sebenarnya merasa menyesal,
tetapi nasi sudah menjadi bubur. Ia hanya bisa menunggu kedatangan Wisnu atau
kabar darinya.
Tidak
terasa waktu sudah sampai pukul setengah delapan malam. Sudah lewat dari adzan
isya! Namun Wisnu masih belum datang-datang juga. Lalu tidak lama berbunyilah
telepon genggam Eza, di layarnya terlihat ada panggilan dari nomor yang tak
dikenal.
Eza
lalu mengangkat telepon itu. Ketika menjawab telepon itu tiba-tiba raut wajah
Eza berubah. Matanya terbelalak, kaget dan seolah tak percaya. Bahkan raut
wajah itu pun masih terlihat ketika ia sudah menutup panggilan singkat itu.
Sambil
menghela napas, Eza lalu menepuk pundak temannya, Billy seraya berkata, “Bill, male
mini temenin gue ke Pandeglang yah. Si Wisnu kecelakaan di Pandeglang, dan
motor gue rusak.”
Mereka
berdua pergi ke pandeglang malam itu juga. Sepanjang jalan Eza hanya bisa
termenung sedih. Dirinya menyesal betul sudah meminjamkan motornya kepada
Wisnu. Padahal orang tuanya sudah berpesan kepada Eza bahwa jika dirinya masih
bersikap tak acuh serta bersikap tak bertanggung jawab kepada apa-apa yang
sudah diamanahkan/diberi oleh orang tuanya kepadanya, maka Eza tak akan lagi akan
mendapatkan apa-apa. Sekarang Eza hanya bisa menahan tangis. Di satu sisi
dirinya ingin memberitahukan kedua orang tuanya tentang musibah yang terjadi
serta alasan kenapa dia akan pulang larut malam, tetapi di sisi lain dirinya takut
serta khawatir akan dimarahi oleh kedua orang tuanya.
Catatan Penulis:
Dalam proses hidup, tumbuh
menjadi seseorang yang ramah dan baik itu adalah suatu kehebatan. Namun
demikian, sikap bertanggung jawab juga dibutuhkan dalam proses menuju kedewasaan.
Tanpa adanya rasa bertanggung jawab, seseorang tidak akan pernah bisa menjadi
dewasa. Tanpa sikap bertanggung jawab, seseorang akan mudah menyepelekan
hal-hal, bahkan orang di sekitarnya. Dirinya tidak sadar bahwa dengan sikap
tidak bertanggung jawabnya itu ia telah melukai hati orang-orang yang tulus
menyayanginya.
No comments:
Post a Comment