Dan
ternyata benar tentang nubuat yang pernah ditakwilkan oleh para ulama dan
sesepuh di masa lalu, bahwa apa yang sejak dahulu digembar-gemborkan oleh kaum
imperialis barat perihal keadiluhungan suatu tingkat pendidikan tidaklah sepenuhnya
dapat menjadi jaminan. Buktinya hari ini, di sehamparan langit dan bumi yang
membentang menyelimuti ibu pertiwi, kebenaran masihlah menjadi nyanyian sembilu
pengusir malam nan kejam. Dinyanyikan oleh para korban dari manusia tak beriman
yang terjerat dalam kemiskinan, kebodohan, bahkan keputusasaan.
Celakanya,
banyak manusia tak beriman yang mengaku betul-betul mafhum tentang hakikat
sebenarnya iman. Tidak hanya itu, yang lebih membuat mulut tercengang yakni
kenyataan bahwa kesemua manusia tak beriman itu adalah mereka yang tinggi dalam
pendidikan maupun kekuasaan. Alhasil, masuklah Sardjita dalam daftar manusia
lemah tak berkedudukan, korban kehinaan atas manusia-manusia yang tak beriman.
Sudah
delapan tahun dua puluh tiga hari Sardjita hidup tak karuan seperti ini, terus
berpindah-pindah tempat persis seperti manusia prasejarah yang tengah dirundung
resah. Istri dan anaknya yang masih balita semakin bersahabat dengan susah,
terlebih saat mereka mengetahui kondisi kesejahteraan keluarganya yang semakin
payah. Banyak orang-orang di sekitarnya mencibir sambil mengatakan bahwa apa
yang tengah diderita oleh Sardjita saat ini sebagai akibat dari sikap sombong
dan idealisnya yang terlalu parah.
⌘⌘⌘
“Jadi
Anda menolak semua aturan main yang telah disebutkan?” ketus seorang pejabat
pemerintahan yang berdiri petantang petenteng di hadapan Sardjita. Sardjita
mematung di pojokan ruang sambil pelan-pelan menundukkan kepalanya yang basah
disirami ocehan. Nasibnya kini entah, persis seperti nasib-nasibnya dahulu
sebelum dipindahtugaskan oleh
atasan-atasannya yang serakah.
“Saya
hanya ingin berusaha untuk tetap bisa berlaku jujur, Pak. Hanya itu,” jawab
Sardjita. Dan seperti apa yang diramalkan oleh kabanyakan orang, Sardjita –untuk kesekian
kali dalam pengalaman hidupnya sebagai pegawai pemerintahan dari kalangan kelas
menengah– kembali dipindahtugaskan oleh atasannya ke
tempat-tempat lain yang tak bersahabat.
Dan
tatkala Sardjita tiba di muka rumahnya, istri dan anaknya menatap wajahnya
sendu dari balik jendela. Mungkin, dari gerak-gerik tubuh Sardjita yang
menenteng tas kerja berhias muka muram durja, istrinya sudah akan mengetahui
bahwa dirinya beserta suami dan anaknya kembali akan berpindah tempat untuk
memulai kehidupan dari awal lagi.
“Kang
Sardjita dimutasi lagi?” Istrinya menghampirinya sambil meraih tas kerja yang
masih melekat di genggaman tangannya. Sardjita terdiam beberapa sesaat,
kemudian ia tersenyum kecil.
“Tidak
Neng, Akang tidak
dimutasi.”
“Lalu
kenapa Akang pulang kerja secepat ini?”
“Akang
memutuskan untuk mengundurkan diri.”
⌘⌘⌘
Empat
hari empat malam Sardjita merenung dalam rumah. Sepeniggal dari pekerjaannya,
tiada lain yang dapat memenuhi kebutuhan perut keluarganya melainkan seikat
singkong yang diperolehnya dari kebun di pekarangan belakang rumah. Dan seperti
malam-malam sebelumnya, Sardjita kembali menenggelamkan dirinya dalam kesyahduan syair-syair
yang ditulisnya di atas secarik kertas putih sambil diterangi
lampu temaram.
“Bilakah
itu terjadi?”: dahulu aku pernah mendengar/ ketika benteng tebal berisi raja bengis nan
sadis/ dan perihal para penggembala domba/ menanti panjang kerana tak kunjung
berjumpa wahah/ lalu manakala
Konstantinopel nan agung melambai/ mereka bertandang menang lagi senang/
bilakah itu terjadi?
Kini,
pelan-pelan Sardjita berubah ke dalam bentuk pengejawantahan seorang penyair
yang lugu. Tak dinyana, syair-syairnya kini malah menjalar dan berkeliaran di
sehamparan ujung Tanah Jawa. Banyak orang-orang yang dahulu sempat mencibirnya,
namun kini malah tergila-gila untuk membaca syair-syair Sardjita yang telah
termaktub di beberapa lembaran
buku syair pujangga. Dan akhirnya kini, syair-syair Sardjita menjadi
nyaring dikenali malam gelap yang menghempas bayu, namun teduh menudungi siang
yang gersang.
Dan
ketika kabar perihal Sardjita sampai pada penguasa di ujung Tanah Jawa, maka
menyeruaklah murka di kalangan para pejabat yang ada di sana. Saat itu, Sentosa
–pemimpin bengis nan tamak dari pemerintahan ujung Tanah Jawa– betul-betul dibuatnya menjadi
jengkel tiada tara.
“Bagaimana
bisa syair-syair rendahan yang ditulisnya menyebar di kalangan masyarakat
luas?!” bentak Sentosa di hadapan para pejabat bawahannya. “Ini jelas-jelas mengancam stabilitas
dan kelanggengan kekuasaan saya!”
Mendengar
kemurkaan Sentosa, maka seluruh pejabat di sana segera dikerahkan agar dapat
secepat mungkin meredam ancaman syair-syair Sardjita yang semakin menggila.
Tidak hanya itu, rapat-rapat terselubung pun kini kian giat dilakukan oleh
Sentosa. Hal ini dikarenakan tidak lama lagi pemilihan umum akan dilangsungkan, jadi jelaslah bila
siasat harus lekas-lekas dibangun sejak sekarang. Jika tidak, jangan harap
Sentosa akan kembali dapat merengkuh kata menang.
Dalam
berbagai rapat terselubung yang dihelat oleh Sentosa, seluruh pejabat, mulai
dari tingkat tertinggi sampai tingkat terendah –tanpa ada pengecualian sedikit
pun– diwajibkan untuk secara rutin hadir dan mendukung dirinya. Jika saja ada
seseorang yang tertangkap basah membelot, maka hampir bisa dipastikan bahwa
nasib mereka adalah sama seperti Sardjita. Ya, harus disingkirkan.
⌘⌘⌘
Maka
ketika segala kecamuk akan kekhawatiran Sentosa semakin memuncak menjelang hari
pertarungan calon penguasa, kemudian –lagi-lagi– terdengar sepenggal syair yang
telah lebih dulu dibentangkan oleh Sardjita dari atas gunung. “Yang Dinanti”: negeri titisan surga dari singgasana/ pekat dipeluk
prahara bertuan/ terjamah halimun kerinduan putih/ adakah
penantian pada panutan nanti?
Sentosa
semakin berang. Lalu dikumpulkan olehnya pasukan-pasukan pemakan uang untuk
segera memungut serta membakar syair-syair Sardjita yang telah terlanjur
berserakan di sana-sini. “Segera musnahkan! Jangan sampai ada syair-syair yang
tersisa!
Syair-syair ini bisa mencuci otak para masyarakat,” kata Sentosa
tegas.
Belumlah
selesai satu ancaman, kemudian datanglah lagi ancaman lainnya. Kali ini, salah
satu pejabat bawahan Sentosa menghadap padanya dengan napas terengah-engah.
“Sardjita telah diusung oleh masyarakat sebagai calon penguasa, Pak,” lapor
bawahannya.
“Kurang
ajar!
Bagaimana bisa masyarakat kelas menengah dan rendahan seperti dia mencalonkan
diri menjadi penguasa? Memangnya dia punya uang banyak?!”
Sentosa
semakin tertekan, sementara prediksi kekuatan pasukannya masih belum bisa
dipastikan. “Masih ada satu cara lagi Pak untuk menjatuhkan kekuatan Sardjita!” sahut orang
kepercayaannya memberi masukan.
“Apa?”
“Uang
dan ancaman.”
Dan
setelahnya masukan itu diterima, maka bertebaranlah para pasukan pemakan uang
di bawah perintah Sentosa. Saat itu, ketika fajar belum terbersit untuk
menampakkan dirinya sedikit pun, para pasukan pemakan uang telah lebih dahulu
mendatangi pintu demi pintu untuk menebar segala uang dan ancaman. Tidak
tanggung-tanggung, bagi siapa saja yang berlagak sok suci seperti Sardjita
–menolak dan tak ingin mendukung Sentosa– maka ancaman baginya adalah dikutuk
menjadi nista.
Ternyata
apa yang dilakukan oleh Sentosa serta pasukannya menjadi jurus ampuh yang
berguna. Buktinya, esoknya –di hari pemilihan umum– jumlah pendukung Sentosa meroket ke
angkasa nan tak terkira. Tidak hanya itu, para simpatisan Sardjita –yang dahulu
begitu berani lagi bersemangat mendukung Sardjita habis-habisan– berhasil
disulapnya menjadi pecundang yang serba tertekan. Tertekan bila pekerjaannya
hilang, tertekan bila nasib keluarganya menjadi malang. Lagi-lagi semuanya karena
ancaman para pasukan Sentosa yang tak beriman. Kasihan.
⌘⌘⌘
Tiga hari tiga malam Sentosa
berpesta pora ditemani pasukan-pasukannya yang tak beriman. Mereka
mabuk-mabukan sambil bergoyang dangdut sepanjang malam. Kemenangan keduanya ini
tentu merupakan penantian panjang yang telah dinanti-nanti oleh Sentosa, jadi sudah barang tentu
harus dirayakan. Terlebih dengan menghilangnya Sardjita beserta para
pendukungnya pasca kekalahan di hari pemilihan, pasti akan menambah
kesumringahan di benak Sentosa menjadi semakin tak karuan.
Namun
tak disangka tak dinyana, sekonyong-konyong seluruh masyarakat kembali
terhenyak. Pesta pora yang dihelat oleh Sentosa selama tiga hari tiga malam itu pun bahkan terhenti untuk
beberapa saat. Dari kejauhan, para hadirin pesta melihat banyak orang tengah
beramai-ramai menjunjung tinggi kertas-kertas bertuliskan sebuah tulisan.
Sentosa semakin kebingungan, maka diutuslah salah seorang bawahannya untuk
menengok kertas apa gerangan.
Sekembalinya
bawahan Sentosa dari balik keramaian, Sentosa dibuat semakin terperangah
mendapati bahwa kertas yang ada di hadapannya tersebut merupakan sebuah syair
penentangan, “Kuda tak Berladam”: biar
perang bergaung tiada henti/ pejuang-pejuang yang lemah lagi lusuh/ bertumpu
pada kuda buta tak berladam/ tancapkan yakin teruntuk sabda lurus/ lalu
bergumul dua kekuatan agung/ maka rakyat yang nanti berseru/ kemenangan
kami bukanlah ragu./
“Sialan!
Siapa yang berani menulis syair-syair rendahan seperti itu lagi? Apakah
Sardjita?” ketus Sentosa kesal.
“Di
sini tidak tertulis nama Sardjita, Pak,” jawab bawahan Sentosa.
“Lalu
siapa? Hah?”
“Di
sini hanya tertera bahwa syair ini ditulis oleh Pemimpin yang tak memiliki uang.”
“Kurang
ajar! Ini pasti Sardjita.”
Sentosa
semakin berang. Dikerahkanlah para pasukan intelijen kepercayaanya untuk dapat
segera melacak dari mana ancaman ini berasal. Sentosa semakin takut bila segala
kemenangan dan kesuksesan pemilihan dirinya sebagai pejabat pemerintahan
sekonyong-konyong terancam gagal.
“Gawat Pak,
kemenangan kita akan digugat dan diadukan ke pihak berwenang!”
“Apa?! Akan
diadukan? Gawat!”
Sentosa
kebakaran jenggot. Dirinya masih tak habis pikir mengapa Sardjita teru menerus
mengusik rencananya untuk dapat kembali duduk di atas takhta kepemimpinan.
Sentosa tak
kehabisan akal. Dengan segudang lembaran uang yang dimilikinya, Sentosa kembali
meracik strategi licik agar Sardjita dapat segera disingkirkan hingga ke
akar-akarnya. Koper-koper besar dipersiapkan. Semuanya diisikan lembaran
uang-uang kertas olehnya dengan nilai yang menakjubkan.
“Untuk koper
yang terakhir, tolong kalian isi dengan dollar. Cepat!” Sentosa menunjuk sebuah
koper hitam di hadapannya. Dari sejumlah koper-koper yang disiapkannya itu,
hanya koper terakhirlah yang mendapat perlakuan berbeda. Jika koper-koper
sebelumnya hanya berisikan lembaran rupiah, maka koper terakhir berisikan
dollar dengan jumlah nilai yang fantastis.
Tidak ada
satu pun dari anak buahnya yang tahu kepada siapa koper terakhir itu akan
bertandang. Tidak ada satu pun dari mereka yang berani menanyakannya pada
Sentosa.
“Pak, lapor!
Semua kopernya sudah siap, Pak!” lapor anak buah Sentosa.
“Bagus,
sekarang cepat kirim koper-koper itu ke sejumlah alamat yang ada di kertas ini.
Segera!”
Maka
setelahnya koper-koper berisi uang itu dikirimkan, dimulailah segera babak baru
persaingan antara Sentosa dan Sardjita. Ketegangan pecah saat itu, ketika
banyak kelompok masyarakat mulai berani dan terang-terangan mendukung Sardjita
sebagai penguasa. “Ini negara demokrasi! Kekuasaan dan kemenangan tidak akan
bisa dibeli dengan uang!” tegas para pendukung Sardjita.
Persaingan
Sardjita dan Sentosa pun dilangsungkan. Sidang demi sidang mereka jalani.
Pelbagai bentuk kecurangan pun dipaparkan oleh Sardjita pada pihak-pihak
berwenang, mulai dari pengawas pemilu di tingkat daerah, hingga ke Mahkamah
yang paling tinggi. Namun sayang, dari semua usaha yang dilakukan Sardjita,
tidak ada satu pun yang benar-benar dapat membuahkan hasil dan mampu
menggugurkan keputusan kemenangan atas Sentosa.
“Nasib dan
perjuangan kita selama ini akan ditentukan di Mahkamah tertinggi besok. Sentosa
boleh saja menyangkal kita bersama bukti-bukti yang dipaparkan pada
sidang-sidang di tingkat daerah, tapi tidak di Mahkamah yang tertinggi,” ucap
Sardjita pada para pendukungnya.
⌘⌘⌘
Suasana
ruang sidang Mahkamah begitu penuh sesak hari ini, keputusan perihal tindak
kecurangan yang dilakukan pihak Sentosa selama pemilu dilangsungkan akan segera
dibacakan beberapa saat lagi. Sekumpulan simpatisan dari kedua belah kubu yang
sudah sejak tadi menunggu tampak terus menerus beradu mulut. Mereka saling
melempar ocehan sejak tadi. Beberapa polisi dengan sigap memisahkan dua kerumunan yang terus menerus bersitegang
agar hal-hal tidak diinginkan dapat dihindari.
“Tenang..
tenang! Bisakah acara pembacaan keputusan ini kita mulai?” sahut Hakim di
Mahkamah seraya menenangkan para hadirin yang tengah bersitegang. Suasana
kembali tenang. Para hadirin kembali menatap Hakim Mahkamah dengan saksama
sambil harap-harap cemas menunggu keputusan diumumkan.
“Baik,
dengan ini kami memutuskan, bahwa yang memenangkan kasus perkara ini adalah...”
Semua orang
menahan napas, tegang menanti keputusan.
“Sentosa,”
ucap Hakim Mahkamah.
Suasana
berubah riuh membahana. Sentosa dan para anak buahnya senang tak terkira.
Mereka bersukacita sejadi-jadinya. “Sudah saya bilang bukan? Dollar dari saya
itu ampuh! Asal kau tahu saja Sardjita, politik itu hanya untuk orang-orang
kelas atas seperti saya! Hahaha!” sahut Sentosa pada Sardjita.
Semua
pendukung Sentosa bersorak sorai ketika kemenangan telah ditetapkan. Sementara
itu, raut wajah Sardjita –dengan perasaan berantakan− masih pucat. Ia masih tak
percaya dengan segala keputusan yang terjadi bahwa orang kecil sepertinya masih
sulit untuk mencari keadilan di negeri berdaulat seperti ini, meski pada
Mahkamah tertinggi sekali pun.
⌘⌘⌘
Hari
berganti minggu, dan minggu berganti bulan. Kini, Sentosa berdiri kokoh di
puncak kekuasaanya dengan tiada seorang pun berani mengusik ketenangannya. Dan
seperti nubuat-nubuat yang telah sering disebutkan oleh para ulama serta
sesepuh di masa lalu tentang akhir cerita manusia-manusia bengis nan tamak,
maka ditengah-tengah kenikmatan takhta kekuasaan itu, datanglah syair-syair
kekesalan Tuhan yang telah dipersiapkan-Nya agar menyadarkan Sentosa karena
telah begitu dzalim menyakiti semua.
“Pak
Sentosa, gawat Pak! Gawat!” lapor anak buah Sentosa.
“Ada apa?
Coba kau tenang sedikit, ceritakan pelan-pelan!”
“Anu Pak,
perihal kemenangan kasus pemilu Bapak ketika di Mahkamah waktu lalu, ternyata
KPK berhasil menemukan indikasi adanya keterlibatan Bapak sebagai orang yang
terkait kasus penyuapan.”
“Apa?! Kamu
serius?! Jangan main-main kamu!”
“Betul Pak,
saya serius. Bahkan beritanya sudah ada di televisi, Pak.”
Sentosa
kaget bukan main, sekonyong-konyong pikirannya menjadi kacau. Benar-benar
kacau. Matanya berkunang-kunang, hampir membuatnya ambruk di tempat. Dalam hati
kecilnya, Sentosa merasa amat menyesal telah melakukan tindakan hina dan
semena-mena, namun semuanya sudah terlambat.
−Kota Serang, November 2013−
Catatan: Cerpen "Pemimpin yang Tak Memiliki Uang" adalah bagian dari kumpulan cerpen "Danghyang" karya D. Apriyanto yang terbit pada 2014 silam.
No comments:
Post a Comment