Wednesday, May 15, 2019

Rungkup Bidai Abu (Oleh: D. Apriyanto)





Ia berdekap sambil menabur harap, pasrah. Benaknya tak diam, terus meligat, seolah kembali ingin memukat dalam hasrat yang semakin bulat. Untuk kesekian bulan, kesekian minggu, kesekian hari, jiwanya merentang lagi pada dipan lapuk pengungsian, mengusang bersama janji-janji lama.
Setiap hari adalah hutang, begitu bisiknya. Hampir seratus hari ia ditikam begu Sinabung yang menyelinap ke setiap barak tenda pengungsian. Pikirannya bahkan semakin gusar lantaran bertubi-tubi gagal memapah asa yang menggelepar. Ia sudah payah sekarang.
“Ayahanda akan membelikanmu hadiah itu, Ananda. Tunggulah lusa...”
Kali ini memang berbeda, ucapnya lain dari biasanya. Tak bias dan kentara jelas. Ia benar-benar akan menebus rengek buah hatinya.
“Jangan memaksakan dirimu, ia masih belia.”
“Aku sudah tak lagi punya wibawa.”
“Lalu kau menginginkan apa?”
“Pinjamkan aku satu juta, dua bulan lagi akan kulunasi.”
Ia perlahan luyut, memanggul tumpukan beban yang semakin masygul. Langkahnya sukar. Langkahnya seberat cikar. Namun sekarang berbeda, parasnya tak lagi serupa dengan paras-parasnya yang kemarin. Parasnya sekarang cerah, berselimut senyum simpul yang cercah.
Setidaknya sekarang ia tahu jika sepeda tua yang sedang dikayuhnya saat ini akan menghantarkannya pada bahagia yang telah lama mengendap, bersamaan dengan seikat rupiah yang baru dipinjamnya. Di hadapannya kini, jejeran kios-kios pasar yang riuh tak lagi membuatnya berkeluh. Dari balik kerumunan para manusia itu, ia akan segera menebus rengek anaknya, sebentar lagi.
Untuk Ananda, buah hati ayahanda yang hanya satu.
Berbulan-bulan sudah kita mendekam di dalam barak pengungsian, menanti redanya murka Sinabung sembari menekuri khilaf pada Yang Maha Kuasa. Bersamaan dengan itu, ayahanda memafhumi jika sudah sedari lama Ananda menampakkan kecewa yang penuh pada ayahanda, terkhusus perihal hadiah yang dahulu sempat ayahanda janjikan selepas engkau cakap melafazkan ayat-ayat suci Al-Quran. Sekarang, dalam waktu yang masih enggan melepas sendu, dimana sendalu selalu bertiup kencang dengan berteman abu, ayahanda ingin melunaskan janji itu pada Ananda. Tengoklah, sebuah sepeda berwarna biru muda telah ayahanda persembahkan untukmu. Mudah-mudahan kelak Ananda tetap berteguh menjadi anak yang sholeh, lurus beribadah dan tak lupa pada sesama. Aamiin.
Dari Ayahanda yang selalu menyayangimu.
٭٭٭

            Biarlah Sinabung meraung keras sepanjang hari, biarlah jua harta benda lenyap tertimbun rebahan pohon yang tunduk pada abu, asalkan jiwanya hidup. Jiwa buah hatinya. Ia begitu mencinta anak satu-satunya, persis seperti seperti apa yang jua pernah dilakukan oleh mendiang istrinya beberapa tahun silam.
            “Tunggulah sebentar, ayahanda akan menengok persediaan bantuan di sana. Mudah-mudahan kita masih bisa dapat makan,” ucapnya lembut sebelum pergi.
            Ia kembali larut dalam nestapa ujian hidup. Tenggelam dalam sapuan ombak manusia yang lara, padahal matahari sedang begitu teriknya ketika ribuan pengungsi bergumul untuk mengemis simpati. Karut marut antrean semakin menjadi, semrawut tak terhindar.
            “Saya belum mendapat makanan, Pak! Berilah satu untuk kami!” sahutnya sembari memelas di antara himpitan bahu-bahu manusia.
            “Bantuan untuk hari ini sudah habis. Kembalilah besok!”
            Wajahnya seketika memuram. Badannya terhuyung lemah, sementara matanya terus berlinang. Bagaimanapun juga, selalu ada wajah anaknya yang tengah meringkih kelaparan dalam ingatannya. Ia lagi-lagi kacau.
            Tiada keluh yang tak bisa meneduh bila kita bersimpuh, ia masih betul-betul meyakini ucapan itu. Sekarang, ia mulai menundukkan wajahnya di sehamparan terpal yang ia sulap sebagai sajadah. Ia benar-benar menumpahkan segala kepelikan hidupnya.
            Kepada-Mu Yaa Rabb, Sang penggenggam segala hidup dan maut.
            Sampai petang ini, tak sejengkalpun imanku patah arang mengemis kasih-Mu. Sedari terang surya di ufuk timur berkilatan, hingga purnama merona di gelapnya malam, sujudku masih terus terarah pada-Mu. Wahai Dzat yang bersemayam di Arasy,
Engkau adalah segala jawab atas pinta, kursi-Mu laksana kekuatan sasa di atas segala tandusnya asa, bilakah Engkau beri hamba sedikit bahagia?
            Rabb, Engkau tahu kulit tubuhku sudah habis terbakar disengat tajamnya surya, sementara dahagaku masih tergantung di antara kering kerongkongan dan bibir yang pecah-pecah, sudikah Engkau menaruh kasih meski sebentar? Berbulan-bulan sudah anakku dibayangi lapar dan putus asa, sementara istriku telah lebih dahulu Engkau renggut umurnya, tidakkah Engkau bermurah hati memberi kami asa? Aku bersimpuh, sungguh, jikalau bukan pada-Mu, pada siapa lagi kami harus meminta?
٭٭٭

            Ia memahami wahyu Tuhan. Ia mafhum bahwa darah dagingnya adalah titipan-Nya. Karenanya, segala hal terkait keberlangsungan hidup yang menjadi hak atas titipan-Nya, adalah sebuah harus yang pasti. Dan meski sebagai gantinya ia berangsur payah memikul beban, tak sedikitpun tekadnya surut. Ia betul-betul sudah tak memiliki pilihan lagi.
            “Ini sudah kedua kalinya, dan kau masih belum membayar sepeser pun.”
            “Aku fakir sekarang. Sungguh. Kau tahu? Kalau saja puncak Sinabung tak lagi mengepul, aku pasti sudah melunasi semuanya!”
            “Lalu bagaimana bisa aku mempercayaimu sekarang?!”
            “Aku masih memiliki sepasang cincin emas yang kusimpan di dalam kotak lemari pakaian. Itu cincin kawin peninggalan istriku. Kalau memungkinkan, lusa aku akan mengambilnya ke sana! Sungguh!”
            Ia kembali datang pada buah hatinya dengan menjinjing beberapa kardus mie instan dan seplastik makanan. Tergambar senyum sumringah yang mengembang pada raut wajah anaknya manakala mereka saling bertatapan. Setidaknya untuk hari ini perut anaknya akan aman. Ia tersungkur, menahan tangis.
            Dalam waktu-waktu sulit seperti ini, perasaan rindu itu memang akan semakin menyiksanya. Dan kenangan akan kehangatan welas asih istrinya merupakan hal lain yang membuatnya sukar untuk menghindar. Ia betul-betul mengharapkan kehadiran istrinya. Maka, dari atas dipan kayu pengungsian itu kembali ia rebahkan tubuhnya yang sudah begitu lunglai, sambil menyelami satu demi satu cerita lalu yang membuatnya semakin tenggelam dalam pilu.
            Kepada istriku yang dengan tiada ragu aku padanya merindu.
            Sayang, satu lustrum, enam bulan, lima belas hari, aku masih menyimpan paras teduhmu di saku ingatanku. Dan nasi hangat yang kau tanak di atas tungku ketika itu, sedikitpun rasanya tak pernah kabur dari ujung lidahku. Apa kau juga masih mengenal kenangan hari itu? Sayang, sungguh, meski derit lemari pakaian memenuhi setiap ceruk telinga di malam panjangku, rinduku masih.
            Sayang, anakmu, anak kita, darah daging yang bersamayam sembilan bulan dalam rahimmu, ia laksana wahah pada sehamparan gurun. Kuajari ia shalat dan mengaji sedari dini, seperti inginmu waktu itu. Sekarang lihatlah, ia sudah mampu berlari kencang di atas tanah lapang. Sayang, kapan kita akan duduk bersama lagi sambil membicarakan cinta? 
٭٭٭

            Baru saja seruan azan shubuh berlalu. Fajar nampak perlahan, bersamaan dengan mega yang berarak pergi ke arah selatan. Masih belum terlihat ramai pada sekumpulan barak-barak pengungsian, karena halimun pagi masih belum benar-benar lenyap dari pandang. Namun saat itu ia telah duduk menukuk di depan tenda pengungsian. Seorang diri, sambil menghadapkan wajahnya yang masih tampak redup.
            Di sana ia terdiam cukup lama, menanti kiranya langit pagi yang cerah segera hadir di hadapan. Benaknya terus berharap-harap cemas. Bagaimanapun juga, apa yang akan diperbuatnya sekarang adalah sesuatu yang gila.
            “Ayahanda akan benar-benar pergi seorang diri?” Anaknya menyiratkan wajah kekhawatiran yang begitu besar.
            “Iya, ayahanda harus pergi, Nak. Kau tahu, hutang ayah pada rentenir itu sudah kadung besar. Tak sanggup ayah jika terus menerus bermasalah seperti waktu lalu.”
                        “Lalu bagaimana denganku, Yah?”
            “Kau tetaplah di pengungsian. Do’akan ayahmu, mudah-mudahan tak terjadi apa-apa.”
            Laki-laki itu perlahan pergi sambil membawa seikat bekal yang telah ia selipkan dalam tas yang tergantung di pundaknya. Kakinya begitu mantap terus melangkah lurus ke arah hutan belukar. Tubuhnya kemudian menirus, hilang di balik halimun yang pekat.
٭٭٭

            Sudah berjam-jam ia berputar di sekeliling kumpulan abu yang tampak sama. Matanya masih terus menyalang, mencari-cari dimana letak persis rumah yang dahulu ia tinggali. Tak lama, tubuhnya segera tertuju pada sebuah bangunan kecil yang tanggung. Dindingnya tampak retak-retak setelah dihempas bebatuan muntahan Sinabung, sementara atapnya hampir menyentuh tanah lantaran terus menerus dihujani berkubik-kubik abu.
            Melihat bangunan itu, wajahnya seketika berubah terang. Benaknya seolah berdecak yakin kalau bangunan yang ada di hadapannya sekarang adalah rumahnya yang dahulu. Ia segera menerobos reruntuhan palang pintu kayu itu.
            Dan di dalam bangunan kecil yang tanggung itu, ia kembali hampir melelang nyawanya. Berkali-kali ia terkesiap oleh jatuhan atap rumah yang telah payah ditimbun abu, nyaris saja menghantam tempurung kepalanya kalau ia tidak cekatan. Belum lagi udara pengap di ruangan penuh abu itu, jelas memaksanya bekerja keras untuk bisa bernapas agar nasibnya tak serupa dengan pepohonan yang ranggas di kaki Sinabung. Kebulatan tekadnya memang sungguh keras.
٭٭٭

            Ia masih terus menerka-nerka tumpukan abu di dalam rumah itu. Sudah cukup lama ia tertahan di sana, mencari-cari kotak berisi cincin peninggalan mendiang istrinya. Hampir puluhan kali ia mengeruk timbunan abu dengan jari tangannya, namun masih nihil.  Padahal di luar abu kembali turun perlahan, sedangkan langit hampir menunjukkan warna jingganya. Sekarang ia betul-betul tertekan. Hari sudah mendekati petang.
            Dan tiba-tiba saja kekhawatiran hatinya tersedak. Gemuruh suara keras sekonyong-konyong terdengar begitu jelas di telinganya.  Suara itu laksana dentuman meriam-meriam perang di angkasa. Ia benar-benar terhentak hebat. Ditengoknya segera suara gemuruh itu dari luar reruntuhan rumah, kemudian wajahnya seketika menjadi pucat pasi.
            Kepada engkau yang tanpa permisi pergi, istriku.
            Sayang, tak pernah dalam hidup aku merasa segentar ini, meski takdirku muskil ditawar lagi. Gegap lisanku pasti, bersendiri memandangi riuh kepulan Sinabung saat ini, percayakah kau? Tengoklah, di hadapanku kini sapuan asap pekat perlahan turun mendekat, sementara di belakangku kosong. Seolah tanda tanya masih memagut dalam pigura cahaya yang enggan berpendar, cahaya buah hati kita.
            Sayang, kalaupun Izrail benar-benar hendak bertandang, sungguh, ikhlasku tetap. Namun apatah arti senandung bilamana kicau burung kuak masih menguak pedih? Bermil-mil jarak yang kudaki, hutan belukar yang kulewati, berkubik abu yang penuh sesak memengapi napas, percumakah itu semua? Sayang, kalaulah aku harus tetap menghadap-Nya, maukah engkau memohonkan kasih-Nya untuk anak kita? Sungguh, napasku sudah semakin berat, sedang kepulan asap semakin dekat. Sayang, ajari aku agar tak takut berjumpa maut...
            Sapuan asap pekat itu datang menghampirinya. Bergemuruh, membawa pedih dan perih. Laki-laki itu terus menjejalkan kakinya dalam-dalam ke atas tanah berabu, sementara kepulan asap terus membuatnya meregang. Iya semakin payah. Ia menyerah pada segurat suratan resah. Resah ihwal nasib anaknya sepeninggalnya. Tetapi Tuhan tetaplah sebaik-baik perencana atas segala hidup manusia.

-Tanah Jawara,  Maret 2014-

Note: Cerpen "Rungkup Bidai Abu" adalah salah satu judul cerpen dalam buku Antologi Cerpen "Danghyang" (2014) 


2 comments:

  1. Bahasanya puitis namun mudah dipahami. Goodluck unk karir tulis menulisnya ka...

    ReplyDelete