Monday, May 13, 2019

Laki-Laki Langka (Oleh: D. Apriyanto)





          Dan ketika semua pertautan hidup bergumal dalam satu titik jenuh yang kekecewaannya terkesan unlimited, dalam jiwa di mana bathin ini selalu terenguh, aku selalu beranggapan bahwa segala kesemerawutan mimpi hidup yang terlanjur beringsut ini adalah hal yang seharusnya ku syukuri dengan tanpa sedikitpun kecewa. Tanpa jiwa besar untuk bersyukur seperti itu, maka aku belumlah dapat dikatakan sebagai laki-laki yang sebenarnya. Itulah wejangan yang biasa diucapkan Emak manakala aku tengah kecewa dengan keterpurukan mimpi.
          Aku sendiri sebenarnya tidak mengerti mengapa aku bisa terdampar di sebuah kampus kecil yang tak populer seperti ini, karena aku masih ingat betul bahwa mimpiku kala itu adalah bisa menjadi seorang mahasiswa di salah satu perguruan tinggi ternama di Indonesia. Bukan di sini, di sebuah Fakultas Keguruan pada kampus kecil di pelosok daerah ini. Realita ini tentu menyakitkan, terlebih ketika para sahabat di kampungku mengetahui bahwa aku tak lebih baik dari mereka. 
          Asal Kawan tahu, banyak dari anak-anak muda seusiaku di kampung yang diterima di sejumlah perguruan tinggi ternama di Indonesia. Fahri, teman bermain bola di kampungku, bahkan diterima di Fakultas Kedokteran UGM (Universitas Gajah Mada)! Gila, bukan? Aku jelas tidak terima, padahal sejak dahulu aku ini lebih pintar darinya. Untuk urusan kejar mengejar peringkat di kelas saja, aku jelaslah yang lebih sering masuk di peringkat tiga besar. Sementara ia, hanya bertengger di sepuluh besar. Untuk alasan ini saja, aku jelas-jelas lebih unggul.  Namun lagi-lagi, takdir memang terlalu sulit disandingkan dengan akal sehat. Ya, seperti nasibku sekarang ini. Menyedihkan.
⌘⌘⌘

Kesedihanku sebenarnya cukup terobati manakala aku dapat diperkenalkan dengan kedua sahabat luar biasa di masa-masa keterpukulan seperti sekarang ini. Tak dapat kupungkiri besarnya peran kedua lelaki gila ini dalam mempengaruhiku menjadi seseorang penggila akan obsesi dan mimpi.
Yang pertama bernama Ozi. Badannya lumayan tinggi. Matanya sedikit sipit. Dari segi kecenderungan, sahabatku yang satu ini bisa ku kategorikan dalam makhluk-makhluk penyuka lomba dan penggila beasiswa. Asal Kawan tahu saja, kecenderungannya terhadap hal-hal berbau beasiswa dan lomba tak tertandingi. Satu hal yang unik dari dirinya, yakni bagaimana ekspresi wajah antusias yang dimilikinya apabila bercerita kepadaku tentang hal-hal berbau beasiswa. Matanya seketika berubah menjadi bulat. Telinganya mengembang. Dan Alisnya berkedut-kedut.
Itulah Ozi, sahabatku yang begitu gila akan beasiswa. Dengan antusiasnya ini, meski tidak diimbangi otak yang jenius, Ozi jelas bisa ditasbihkan sebagai seorang mahasiswa yang gigih. Bak gigihnya pejuang-pejuang kekaisaran Roma yang tak takut mati.
Sahabatku yang satu lagi bernama Afit. Dari kecenderungannya, ia bisa ku kategorikan sebagai lelaki pendiam yang jenius. Bagiku, dia tak ubahnya pembunuh berdarah dingin. Jika Kawan menemui penjahat semisal Al Capone atau Jack The Ripper dalam tulisan Sir Arthur Conan Doyle, tentulah sahabatku ini bisa kukatakan lebih hebat dari keduanya. Otak encernya −yang biasa dengan mudah melumat soal-soal trigonometri atau teori-teori tingkat tinggi milik Isac Newton− jelas tidak bisa dianggap remeh. Karena kejeniusannya itu pula ia dijadikan sebagai asisten laboratorium oleh Ibu Lili.
Celakanya lagi, ia tidak hanya jenius di hal-hal akademis semata, namun juga di hal-hal remeh temeh semisal pertandingan sepak bola PS 2 (Playstation 2). Dengan segala kelebihannya itu, maka tidak jarang aku dan Ozi dibuatnya seolah bak  pecundang, karena kami selalu kalah ketika bersaing dengan mahasiswa jenius yang satu ini. Khususnya dalam permainan PS 2.
⌘⌘⌘

“Ayolah Do, ikutlah gabung dalam kelompokku. Aku yakin, kita akan mampu mendapatkan beasiswa serta kesempatan ke luar negeri dari ajang Call for Paper  itu nanti. Percayalah, Kawan.”
Penyakit mingguan Ozi kembali kambuh. Kali ini, tiga jam sudah ia habiskan untuk memandangi wajahku sembari memasang muka kasihan. Ya, semata-mata agar aku mengasihaninya dan mau ikut bergabung bersama kelompok pemburu beasiswanya itu.
“Ah, tak mau aku Zi. Kau ingat bukan? Terakhir kali aku ikut serta masuk kelompokmu, aku sudah kehabisan banyak uang untuk print makalah. Tapi, hasilnya malah nol. Merugi aku Sob!” Aku mengelak tegas.
“Ini untukmu, Do. Gratiiis!”
Tangannya menjulurkan sebatang cokelat mahal ke arahku. Memangnya aku akan tertipu lagi olehmu? Tidak akan! Kawan, asal kalian tahu saja, ini adalah trik amatiran ala sahabatku –Ozi. Beberapa waktu yang lalu, dia pernah beberapa kali menggunakan trik ini untuk memikatku. Dan bodohnya, aku masuk dalam perangkapnya. Maka jadilah saat itu aku anak buah misi pencarian beasiswanya. Seharian aku diajak berputar-putar di kampus, hanya untuk menjalani sederetan alur birokrasi yang membuat kepala mau pecah. Berkaca pada pengalaman itu, aku tidak akan mau lagi masuk dalam lubang perangkap bodoh untuk kedua kalinya. Tidak akan!
“Zi, kenapa tak kau coba ajak Afit saja?”
Mataku langsung melirik ke arah Afit yang tengah duduk tenang di pojok kamar kos sambil melumat sebuah buku tebal ilmu statistik. Mendengar ucapanku barusan, sekonyong-konyong Afit langsung merubah tatap matanya. Alisnya seketika menukik tajam. Sorot matanya buas, bak serigala kelaparan. Nyaliku langsung ciut. Lekas-lekas kuluruskan ucapanku barusan, “Ya, itu sih kalau kau tak keberatan, Fit.”
⌘⌘⌘

         Dan sebagaimana Tuhan Yang Maha Pendengar akan rintihan hambanya yang begitu khidmat mengadu keluh kesah, maka do’a - do’a yang dilantunkan Ozi kali ini, pada hari di mana tidak ada satupun sahabat sependeritaannya yang mau ikut serta bergabung dalam kelompoknya, semuanya seakan tak terbantahkan oleh nalar manusia. Ya, semuanya berputar seratus delapan puluh derajat hari ini!
         “Jadi bagaimana, Ido? Afit? Kalian mau turuti permintaan Ibu?”
         Bu Leli, dosen ternama yang begitu kami hormati di jurusan ini, memandang wajahku dan Afit dengan begitu penuh keseriusan. Jantung kami berhenti berdetak se-persekian detik. Bagaimana tidak, hari ini mata kami dipaksa terbelalak dengan suatu pemahaman sederhana bahwa impossible is nothing! Dia, sahabatku yang selama ini kuanggap bodoh lantaran hanya bermodalkan kegigihan semata, nyatanya hari ini dapat membuatku bertekuk lutut menuruti kehendak gilanya. Bukan cuma itu, tetapi ia juga mampu membuat seorang jenius seperti Afit menuruti kehendaknya. Harus kuakui, ide Ozi untuk memasukan kami ke dalam kelompoknya dengan sedikit melibatkan bantuan Bu Leli sangatlah cerdas.
         Pada akhirnya, atas dasar rasa terpaksa dan penuh keterdesakan, aku dan Afit menerimanya, “Baik Bu, kami akan masuk kelompok Ozi.”
⌘⌘⌘

         Ini adalah mimpi buruk. Bahkan jika dibandingkan dengan tugas penyelesaian sekumpulan soal kalkulus yang ditambah setumpuk pertanyaan perihal genetika dari klasifikasi insecta sekalipun, ini jelas lebih buruk! Siapa pun jelas tidak akan ada yang mau sekelompok dalam pasukan misi Call for Paper bersama Ozi. Bagiku, misi seperti ini sudah tidak ada bedanya dengan Misi Impossible.  Lihatlah, aku dan Afit saja terkapar lemas di dalam kamar kos sembari meratapi nasib kami yang teramat buruk. Nasibku sedang sial hari ini.
         Di hadapan kami, duduk Ozi dengan gagahnya. Wajahnya senyam-senyum aneh sejak tadi. Entahlah, tapi sepertinya hatinya terbahak-bahak puas ketika mendapati kami menyerah dan masuk dalam kelompoknya. Beberapa kali ia berusaha menguatkan hati kami agar tidak perlu bersedih.
         “Sob, tak usah diambil hati lah. Percaya saja denganku. Nanti, kita akan bisa pergi ke luar negeri dengan ajang Call for Paper ini. Naik pesawat, Sob!”
         Seenaknya saja ia berkata begitu. Jelas, dalam hal ini, aku dan Afit-lah yang akan direpotkan nanti. Tapi, apa boleh buat. Nasi sudah menjadi bubur. Maka kami bersegera merancang ide serta persiapan untuk menyusun sebuah makalah agar dapat diikutsertakan dalam ajang Call for Paper.
⌘⌘⌘

         “Sob! Gagasan kita lolos!!” Ozi berlari kencang sambil melompat ke arah Afit. Aku tercengang hebat. Sungguh, ini adalah hal terabsurd yang sulit diterima oleh akal sehatku. Otakku masih sulit mencerna ucapan Ozi. Maka, untuk kembali memastikannya, kutanyakan kepadanya sekali lagi.
         “Zi, kemari sebentar! Bisa kau ulangi sekali lagi?” tanyaku ragu.
         “Kita LOLOS!! LOLOS Do!”
         Kami bertiga langsung meloncat kegirangan. Kami tenggelam dalam euforia bahagia yang sejadi-jadinya. Saat itu, bahkan belum pernah kulihat Si Pendiam Afit yang begitu riangnya melompat. Namun, tiba-tiba Ozi berhenti dan memotong keceriaan kami.
         “Tunggu dulu. Teman, sebenarnya ada hal yang masih belum aku jelaskan kepada kalian...”
         “Apa itu, Zi? Kau bicara saja lah, Teman,” ucapku bingung.
         “Untuk biaya pergi ke Taiwan nanti, itu sebenarnya merupakan tanggungan masing-masing kelompok peserta.”
         “Apa??” Aku dan Afit terkaget-kaget.
         Inilah yang disebut terlepas dari kandang anjing, masuk ke kandang harimau. Jelas, biaya transportasi seperti itu sangatlah tidak masuk akal bagi mahasiswa pas-pasan seperti kami.
         “Kita cari ajukan pengajuan dana ke Kampus saja, Kawan,” sahut Afit.
⌘⌘⌘

          “Bagaimana, Fit? Kau sudah siap?” tanyaku sedikit tegang.         
          “Tenang, tak usah khawatir. Serahkan saja semuanya padaku. Ingat, kau hanya perlu fokus pada slide power point yang sudah kita rancang, Teman.”
          Gila. Afit masih dengan santainya melempar senyum ke arahku. Ini memang sulit dipercaya. Padahal, di hadapan kami sudah duduk para petinggi kampus maupun pihak perwakilan sponsor yang akan membiayai project kami. Namun, tak sedikitpun nyalinya ciut. Afit memang seorang jenius berdarah dingin. Kentara sekali dari tiap langkah kakinya yang begitu tenang dan pasti berjalan ke arah meja presentasi itu.
          Jujur saja, tubuhku begitu gemetaran saat ini. Bagaimanapun juga, ini adalah kesempatan terakhir kami untuk mengajukan proposal pengajuan dana pembiayaan pergi ke Taiwan. Jika presentasi kali ini gagal, maka aku tidak tahu apa yang akan menimpa Ozi nanti. Lihat saja ia, duduk merunduk di meja belakang para hadirin presentasi. Katanya, ia tak punya cukup nyali untuk maju menemani aku dan Afit presentasi di depan para petinggi kampus ini.
          Presentasi dimulai. Afit segera mempresentasikan materi kami. Mulutnya seperti begitu fasih melafalkan point demi point yang kami rangkum semalaman itu.
          “Seberapa penting keuntungan yang kami dapatkan nanti? Mengapa kami harus membiayai kalian untuk pergi ke Taiwan?”
          Salah seorang hadirin dari perwkilan pejabat kampus mulai menguji kami melalui sejumlah pertanyaan. Jantungku semakin berdegup kencang. Keringat mulai menjulur di sekujur badan. Namun Afit masih kelihatan tenang. Ia menarik nafas panjangnya dalam-dalam. Ia kemudian menginstruksikanku untuk kembali memutar slide sebelumnya. Kejeniusannya mulai bekerja. Ya, Afit langsung mengaplikasikan teori-teori jitu milik Robert Gordman untuk menarik hati para penguji itu. Semua hadirin tercengang dengan penjelasan yang disampaikan oleh Afit. Mereka saling pandang dan berbisik-bisik satu dengan lainnya. Entahlah, tapi aku mulai ragu. Aku takut tanggapan yang diberikan oleh pihak penguji adalah negatif.
          Dan setelah beberapa menit perundingan pelik, salah seorang penguji berdiri mendekati Afit. “Selamat, presentasi kalian mengagumkan. Kami akan membiayai perjalanan kalian ke Taiwan.”
          Aku terhentak. Air mata tak lagi mampu terbendung hingga seketika jatuh membasahi pipi. Semuanya saling berpelukan. Haru dan tawa bahagia pecah saat itu. Dan kala itu, seketika aku baru menyadari, bahwa Ozi dan Afit mungkin sengaja dikirimkan oleh Tuhan kepadaku, semata-mata agar aku tak lagi gundah seperti yang dikeluhkan Emak saat itu. Terimakasih, Teman. Kalian adalah sahabat luar biasa dalam hidupku. Kalian adalah laki-laki langka dalam yang ada di kehidupanku.
⌘⌘⌘
         
          Tak berubah. Secangkir kopi arabica yang tersaji di atas meja kayu, dentingan jarum jam dinding kantor yang bertik-tok sepanjang waktu, atau posisi bolpoin biru yang tergeletak di atas buku. Semuanya masih sama. Tidak berubah sedikitpun. Pria berkacamata itu masih tampak serius membuka lembar tiap lembar kertas yang terselip di jemari tangannya. Sesekali mulutnya tersenyum kecil. Sesekali sebelah alisnya menukik. Masih begitu sejak tadi. Sementara aku, mati-matian menahan nervous.
          “Mas.. Ri..??”
          “Riyan Baratha, Mas,” sahutku meluruskan kekeliruan pelafalan pria itu dalam pengucapan namaku.
          “Iya.. Mas Riyan Baratha. Jadi begini.. Hmm.. Menurut saya, naskah berjudul Laki-Laki Langka ini cukup unik.  Sangat menyentuh dan mengena bagi kebanyakan orang. Namun, ada sedikit hal yang mungkin perlu ditambahkan pada beberapa bagian ceritanya. Hmm...”
          Aku menelan ludahku. Bersiap-siap menerima keputusan terburuk atas pengajuan naskahku ini.
          “Jadi, keputusannya...”
          Dadaku kembang kempis. Jantung berdegup kencang tak karuan seperti mau loncat. Keringat malah sudah membanjiri ketiak dan seluruh badan.
          “Selamat Mas, naskah anda kami terima.”      
          Aku tersenyum lepas. Bahagia sejadi-jadinya. Akhirnya, mimpiku menjadi seorang penulis dapat terwujud juga!



Note: Cerpen "Laki-Laki Langka" merupakan 15 cerpen terbaik dalam ajang Lolipop (Lomba Menulis Populer) yang diselenggarakan Kelompok Studi Sastra Islam FIB Universitas Dipenogoro, tahun 2013. Cerpen masuk dalam buku antologi cerpen Lolipop (2013).












No comments:

Post a Comment