Dan ketika semua pertautan hidup bergumal dalam satu titik
jenuh yang kekecewaannya terkesan unlimited,
dalam jiwa di mana bathin ini selalu terenguh, aku selalu beranggapan bahwa segala
kesemerawutan mimpi hidup yang terlanjur beringsut ini adalah hal yang
seharusnya ku syukuri dengan tanpa sedikitpun kecewa. Tanpa jiwa besar untuk
bersyukur seperti itu, maka aku belumlah dapat dikatakan sebagai laki-laki yang
sebenarnya. Itulah wejangan yang biasa diucapkan Emak manakala aku tengah
kecewa dengan keterpurukan mimpi.
Aku sendiri sebenarnya tidak mengerti mengapa aku bisa
terdampar di sebuah kampus kecil yang tak populer seperti ini, karena aku masih
ingat betul bahwa mimpiku kala itu adalah bisa menjadi seorang mahasiswa di
salah satu perguruan tinggi ternama di Indonesia. Bukan di sini, di sebuah Fakultas
Keguruan pada kampus kecil di pelosok daerah ini. Realita ini tentu menyakitkan,
terlebih ketika para sahabat di kampungku mengetahui bahwa aku tak lebih baik
dari mereka.
Asal Kawan tahu, banyak dari anak-anak muda seusiaku di
kampung yang diterima di sejumlah perguruan tinggi ternama di Indonesia. Fahri,
teman bermain bola di kampungku, bahkan diterima di Fakultas Kedokteran UGM
(Universitas Gajah Mada)! Gila, bukan? Aku jelas tidak terima, padahal sejak
dahulu aku ini lebih pintar darinya. Untuk urusan kejar mengejar peringkat di
kelas saja, aku jelaslah yang lebih sering masuk di peringkat tiga besar.
Sementara ia, hanya bertengger di sepuluh besar. Untuk alasan ini saja, aku
jelas-jelas lebih unggul. Namun
lagi-lagi, takdir memang terlalu sulit disandingkan dengan akal sehat. Ya,
seperti nasibku sekarang ini. Menyedihkan.
⌘⌘⌘
Kesedihanku sebenarnya cukup terobati manakala aku dapat
diperkenalkan dengan kedua sahabat luar biasa di masa-masa keterpukulan seperti
sekarang ini. Tak dapat kupungkiri besarnya peran kedua lelaki gila ini dalam
mempengaruhiku menjadi seseorang penggila akan obsesi dan mimpi.
Yang pertama bernama Ozi. Badannya lumayan tinggi. Matanya sedikit
sipit. Dari segi kecenderungan, sahabatku yang satu ini bisa ku kategorikan
dalam makhluk-makhluk penyuka lomba dan penggila beasiswa. Asal Kawan tahu
saja, kecenderungannya terhadap hal-hal berbau beasiswa dan lomba tak
tertandingi. Satu hal yang unik dari dirinya, yakni bagaimana ekspresi wajah
antusias yang dimilikinya apabila bercerita kepadaku tentang hal-hal berbau
beasiswa. Matanya seketika berubah menjadi bulat. Telinganya mengembang. Dan
Alisnya berkedut-kedut.
Itulah Ozi, sahabatku yang begitu gila akan beasiswa. Dengan
antusiasnya ini, meski tidak diimbangi otak yang jenius, Ozi jelas bisa
ditasbihkan sebagai seorang mahasiswa yang gigih. Bak gigihnya pejuang-pejuang
kekaisaran Roma yang tak takut mati.
Sahabatku yang satu lagi bernama Afit. Dari kecenderungannya, ia
bisa ku kategorikan sebagai lelaki pendiam yang jenius. Bagiku, dia tak ubahnya
pembunuh berdarah dingin. Jika Kawan menemui penjahat semisal Al Capone atau
Jack The Ripper dalam tulisan Sir Arthur Conan Doyle, tentulah sahabatku ini
bisa kukatakan lebih hebat dari keduanya. Otak encernya −yang biasa dengan
mudah melumat soal-soal trigonometri atau teori-teori tingkat tinggi milik Isac
Newton− jelas tidak bisa dianggap remeh. Karena kejeniusannya itu pula ia dijadikan
sebagai asisten laboratorium oleh Ibu Lili.
Celakanya lagi, ia tidak hanya jenius di hal-hal akademis semata,
namun juga di hal-hal remeh temeh semisal pertandingan sepak bola PS 2 (Playstation 2). Dengan segala
kelebihannya itu, maka tidak jarang aku dan Ozi dibuatnya seolah bak pecundang, karena kami selalu kalah ketika
bersaing dengan mahasiswa jenius yang satu ini. Khususnya dalam permainan PS 2.
⌘⌘⌘
“Ayolah Do, ikutlah gabung dalam kelompokku. Aku yakin, kita
akan mampu mendapatkan beasiswa serta kesempatan ke luar negeri dari ajang Call for Paper itu nanti. Percayalah, Kawan.”
Penyakit mingguan Ozi kembali kambuh. Kali ini, tiga jam sudah
ia habiskan untuk memandangi wajahku sembari memasang muka kasihan. Ya, semata-mata
agar aku mengasihaninya dan mau ikut bergabung bersama kelompok pemburu
beasiswanya itu.
“Ah, tak mau aku Zi. Kau ingat bukan? Terakhir kali aku ikut
serta masuk kelompokmu, aku sudah kehabisan banyak uang untuk print makalah. Tapi, hasilnya malah nol.
Merugi aku Sob!” Aku mengelak tegas.
“Ini untukmu, Do. Gratiiis!”
Tangannya menjulurkan sebatang cokelat mahal ke arahku. Memangnya aku akan tertipu lagi olehmu?
Tidak akan! Kawan, asal kalian tahu saja, ini adalah trik amatiran ala
sahabatku –Ozi. Beberapa waktu yang lalu, dia pernah beberapa kali menggunakan
trik ini untuk memikatku. Dan bodohnya, aku masuk dalam perangkapnya. Maka
jadilah saat itu aku anak buah misi pencarian beasiswanya. Seharian aku diajak
berputar-putar di kampus, hanya untuk menjalani sederetan alur birokrasi yang
membuat kepala mau pecah. Berkaca pada pengalaman itu, aku tidak akan mau lagi masuk
dalam lubang perangkap bodoh untuk kedua kalinya. Tidak akan!
“Zi, kenapa tak kau coba ajak Afit saja?”
Mataku langsung melirik ke arah Afit yang tengah duduk tenang di
pojok kamar kos sambil melumat sebuah buku tebal ilmu statistik. Mendengar
ucapanku barusan, sekonyong-konyong Afit langsung merubah tatap matanya. Alisnya
seketika menukik tajam. Sorot matanya buas, bak serigala kelaparan. Nyaliku
langsung ciut. Lekas-lekas kuluruskan ucapanku barusan, “Ya, itu sih kalau kau
tak keberatan, Fit.”
⌘⌘⌘
Dan sebagaimana Tuhan Yang Maha
Pendengar akan rintihan hambanya yang begitu khidmat mengadu keluh kesah, maka
do’a - do’a yang dilantunkan Ozi kali ini, pada hari di mana tidak ada satupun
sahabat sependeritaannya yang mau ikut serta bergabung dalam kelompoknya,
semuanya seakan tak terbantahkan oleh nalar manusia. Ya, semuanya berputar
seratus delapan puluh derajat hari ini!
“Jadi bagaimana, Ido? Afit? Kalian mau turuti
permintaan Ibu?”
Bu Leli, dosen ternama yang begitu kami
hormati di jurusan ini, memandang wajahku dan Afit dengan begitu penuh
keseriusan. Jantung kami berhenti berdetak se-persekian detik. Bagaimana tidak,
hari ini mata kami dipaksa terbelalak dengan suatu pemahaman sederhana bahwa impossible is nothing! Dia, sahabatku
yang selama ini kuanggap bodoh lantaran hanya bermodalkan kegigihan semata,
nyatanya hari ini dapat membuatku bertekuk lutut menuruti kehendak gilanya.
Bukan cuma itu, tetapi ia juga mampu membuat seorang jenius seperti Afit
menuruti kehendaknya. Harus kuakui, ide Ozi untuk memasukan kami ke dalam
kelompoknya dengan sedikit melibatkan bantuan Bu Leli sangatlah cerdas.
Pada akhirnya, atas dasar rasa terpaksa
dan penuh keterdesakan, aku dan Afit menerimanya, “Baik Bu, kami akan masuk
kelompok Ozi.”
⌘⌘⌘
Ini adalah mimpi buruk. Bahkan jika
dibandingkan dengan tugas penyelesaian sekumpulan soal kalkulus yang ditambah
setumpuk pertanyaan perihal genetika dari klasifikasi insecta sekalipun, ini jelas lebih buruk! Siapa pun jelas tidak
akan ada yang mau sekelompok dalam pasukan misi Call for Paper bersama Ozi. Bagiku, misi seperti ini sudah tidak
ada bedanya dengan Misi Impossible. Lihatlah, aku dan Afit saja terkapar lemas di
dalam kamar kos sembari meratapi nasib kami yang teramat buruk. Nasibku sedang sial hari ini.
Di hadapan kami, duduk Ozi dengan
gagahnya. Wajahnya senyam-senyum aneh sejak tadi. Entahlah, tapi sepertinya
hatinya terbahak-bahak puas ketika mendapati kami menyerah dan masuk dalam
kelompoknya. Beberapa kali ia berusaha menguatkan hati kami agar tidak perlu
bersedih.
“Sob, tak usah diambil hati lah.
Percaya saja denganku. Nanti, kita akan bisa pergi ke luar negeri dengan ajang Call for Paper ini. Naik pesawat, Sob!”
Seenaknya saja ia berkata begitu.
Jelas, dalam hal ini, aku dan Afit-lah yang akan direpotkan nanti. Tapi, apa
boleh buat. Nasi sudah menjadi bubur. Maka kami bersegera merancang ide serta
persiapan untuk menyusun sebuah makalah agar dapat diikutsertakan dalam ajang Call for Paper.
⌘⌘⌘
“Sob! Gagasan kita lolos!!” Ozi berlari
kencang sambil melompat ke arah Afit. Aku tercengang hebat. Sungguh, ini adalah
hal terabsurd yang sulit diterima oleh akal sehatku. Otakku masih sulit
mencerna ucapan Ozi. Maka, untuk kembali memastikannya, kutanyakan kepadanya sekali
lagi.
“Zi, kemari sebentar! Bisa kau ulangi
sekali lagi?” tanyaku ragu.
“Kita LOLOS!! LOLOS Do!”
Kami bertiga langsung meloncat
kegirangan. Kami tenggelam dalam euforia bahagia yang sejadi-jadinya. Saat itu,
bahkan belum pernah kulihat Si Pendiam Afit yang begitu riangnya melompat.
Namun, tiba-tiba Ozi berhenti dan memotong keceriaan kami.
“Tunggu dulu. Teman, sebenarnya ada hal
yang masih belum aku jelaskan kepada kalian...”
“Apa itu, Zi? Kau bicara saja lah,
Teman,” ucapku bingung.
“Untuk biaya pergi ke Taiwan nanti, itu
sebenarnya merupakan tanggungan masing-masing kelompok peserta.”
“Apa??” Aku dan Afit terkaget-kaget.
Inilah yang disebut terlepas dari
kandang anjing, masuk ke kandang harimau. Jelas, biaya transportasi seperti itu
sangatlah tidak masuk akal bagi mahasiswa pas-pasan seperti kami.
“Kita cari ajukan pengajuan dana ke
Kampus saja, Kawan,” sahut Afit.
⌘⌘⌘
“Bagaimana, Fit?
Kau sudah siap?” tanyaku sedikit tegang.
“Tenang, tak usah
khawatir. Serahkan saja semuanya padaku. Ingat, kau hanya perlu fokus pada slide power point yang sudah kita
rancang, Teman.”
Gila. Afit masih dengan santainya melempar senyum ke
arahku. Ini memang sulit dipercaya. Padahal, di hadapan kami sudah duduk para
petinggi kampus maupun pihak perwakilan sponsor yang akan membiayai project kami. Namun, tak sedikitpun
nyalinya ciut. Afit memang seorang jenius berdarah dingin. Kentara sekali dari
tiap langkah kakinya yang begitu tenang dan pasti berjalan ke arah meja
presentasi itu.
Jujur saja, tubuhku begitu gemetaran saat ini. Bagaimanapun
juga, ini adalah kesempatan terakhir kami untuk mengajukan proposal pengajuan
dana pembiayaan pergi ke Taiwan. Jika presentasi kali ini gagal, maka aku tidak
tahu apa yang akan menimpa Ozi nanti. Lihat saja ia, duduk merunduk di meja
belakang para hadirin presentasi. Katanya, ia tak punya cukup nyali untuk maju
menemani aku dan Afit presentasi di depan para petinggi kampus ini.
Presentasi dimulai. Afit segera mempresentasikan materi
kami. Mulutnya seperti begitu fasih melafalkan point demi point yang
kami rangkum semalaman itu.
“Seberapa penting keuntungan yang kami dapatkan nanti?
Mengapa kami harus membiayai kalian untuk pergi ke Taiwan?”
Salah seorang hadirin dari perwkilan pejabat kampus mulai
menguji kami melalui sejumlah pertanyaan. Jantungku semakin berdegup kencang.
Keringat mulai menjulur di sekujur badan. Namun Afit masih kelihatan tenang. Ia
menarik nafas panjangnya dalam-dalam. Ia kemudian menginstruksikanku untuk
kembali memutar slide sebelumnya.
Kejeniusannya mulai bekerja. Ya, Afit langsung mengaplikasikan teori-teori jitu
milik Robert Gordman untuk menarik hati para penguji itu. Semua hadirin tercengang
dengan penjelasan yang disampaikan oleh Afit. Mereka saling pandang dan
berbisik-bisik satu dengan lainnya. Entahlah, tapi aku mulai ragu. Aku takut
tanggapan yang diberikan oleh pihak penguji adalah negatif.
Dan setelah beberapa menit perundingan pelik, salah seorang
penguji berdiri mendekati Afit. “Selamat, presentasi kalian mengagumkan. Kami
akan membiayai perjalanan kalian ke Taiwan.”
Aku terhentak. Air mata tak lagi mampu terbendung hingga
seketika jatuh membasahi pipi. Semuanya saling berpelukan. Haru dan tawa
bahagia pecah saat itu. Dan kala itu, seketika aku baru menyadari, bahwa Ozi
dan Afit mungkin sengaja dikirimkan oleh Tuhan kepadaku, semata-mata agar aku
tak lagi gundah seperti yang dikeluhkan Emak saat itu. Terimakasih, Teman.
Kalian adalah sahabat luar biasa dalam hidupku. Kalian adalah laki-laki langka dalam yang ada di kehidupanku.
⌘⌘⌘
Tak berubah. Secangkir kopi arabica yang tersaji di atas meja kayu, dentingan jarum jam
dinding kantor yang bertik-tok sepanjang waktu, atau posisi bolpoin biru yang
tergeletak di atas buku. Semuanya masih sama. Tidak berubah sedikitpun. Pria
berkacamata itu masih tampak serius membuka lembar tiap lembar kertas yang
terselip di jemari tangannya. Sesekali mulutnya tersenyum kecil. Sesekali
sebelah alisnya menukik. Masih begitu sejak tadi. Sementara aku, mati-matian
menahan nervous.
“Mas.. Ri..??”
“Riyan Baratha, Mas,” sahutku meluruskan kekeliruan
pelafalan pria itu dalam pengucapan namaku.
“Iya.. Mas Riyan Baratha. Jadi begini.. Hmm.. Menurut saya,
naskah berjudul Laki-Laki Langka ini
cukup unik. Sangat menyentuh dan mengena
bagi kebanyakan orang. Namun, ada sedikit hal yang mungkin perlu ditambahkan
pada beberapa bagian ceritanya. Hmm...”
Aku menelan ludahku. Bersiap-siap menerima keputusan
terburuk atas pengajuan naskahku ini.
“Jadi, keputusannya...”
Dadaku kembang kempis. Jantung berdegup kencang tak karuan
seperti mau loncat. Keringat malah sudah membanjiri ketiak dan seluruh badan.
“Selamat Mas,
naskah anda kami terima.”
Aku tersenyum
lepas. Bahagia sejadi-jadinya. Akhirnya, mimpiku menjadi seorang penulis dapat
terwujud juga!
Note: Cerpen "Laki-Laki Langka" merupakan 15 cerpen terbaik dalam ajang Lolipop (Lomba Menulis Populer) yang diselenggarakan Kelompok Studi Sastra Islam FIB Universitas Dipenogoro, tahun 2013. Cerpen masuk dalam buku antologi cerpen Lolipop (2013).
No comments:
Post a Comment