Friday, August 9, 2019

Wajah-Wajah yang Berjauhan (Oleh: D.Apriyanto)




Di sanalah wajah muram itu diketemukan, di balik sebuah kaca jendela pada bangunan berlantai dua. Di sana, tampak sekali raut sendu seorang anak manusia yang teramat lara. Seorang perempuan tanggung yang sedang didera gelisah menggunung. Dan meski lembayung senja terus mengantar surya perlahan hingga hilang ke peraduan, gelisah bathinnya tak kunjung redam.
Sesekali matanya melirik layar telepon genggam yang ada di tangannya, sesekali telepon genggam itu ditaruhnya kembali. Tubuhnya tak kalah bingung, sudah beberapa kali ia bergonta-ganti posisi. Mulai dari duduk merunduk dengan dagu tertahan di atas lipatan siku, hingga berdiri di antara gordin jendela yang tertiup angin senja, semuanya sudah ia coba, namun hatinya tak jua berjumpa tenang.
Tak lama, sebuah pesan singkat tiba-tiba saja bertandang di telepon genggamnya. Rona wajahnya seketika berubah. Ia segera membuka pesan itu dengan sedikit tergesa. Matanya terus menyorot layar, hampir tak berkedip. Setelahnya, ia langsung beranjak pergi menuju sebuah meja komputer di ruang tidurnya. Di layar komputer itu, matanya tak berhenti berkaca-kaca.
Untuk adindaku, Suryati, yang selalu menyimpan rinduku.
Teriring salam dan doa tulus untuk adinda di sana. Bagaimana kabarmu di sana? Baik kah? Sebelumnya, ingin Mas ucapkan maaf  yang mendalam perihal kerterlambatan Mas mengirimimu kabar. Kiranya harap dimaklum, karena letak geografis di tempat Mas bertugas terbilang masih sulit untuk dapat menangkap sinyal, sehingga komunikasi di antara kita terasa merenggang.
Namun, terlepas dari kesusahan itu, beruntung rasanya hari ini Mas berkesempatan mendapati sebuah warung internet bantuan pemerintah, meski jaraknya berpuluh-puluh kilometer sudah dari tempat Mas bertugas, namun sungguh, bahagia Mas tak terkira menemukan fasilitas seperti ini. Oleh karenanya, tidak Mas sia-siakan kesempatan ini untuk segera berkirim surat elektronik dan mengabarimu hari ini juga.
Adinda Suryati yang senantiasa Mas rindukan, bersamaan dengan datangnya surat elektronik ini, tak lupa Mas juga melampirkan empat buah foto terbaru Mas yang diambil beberapa waktu lalu. Semoga foto-foto ini kiranya dapat mengobati kerinduanmu di sana. Doa dan semangatmu selalu Mas harapkan, agar kiranya cita-cita Mas, cita-cita kita, untuk memperoleh kemapanan sebelum melangkah ke biduk sesungguhnya dapat segera terkabul, kelak. Aamiin.

Yang selalu menyimpan namamu, Mas Pras.
٭٭٭

 Rasa rindu itu amat sulit ditebak. Bak sisi mata dadu yang coba digulirkan di atas meja, kemana berlabuhnya tak pernah kita tahu. Persis seperti kegalauan perempuan tanggung itu. Sekarang Suryati lebih banyak termenung di kampusnya. Rupanya, masalah hatinya yang terpaut rindu pada Pras sudah terbilang parah. Hampir empat bulan sudah Pras tak mengiriminya kabar. Kini, segala yang ada di pikirannya seolah menjadi kacau; makan tak enak, tidur tak nyenyak, belajar di kampus pun terasa semakin muak.
Beberapa kali bathinnya menyadari kalau apa yang mengganggu pikirannya adalah sebuah masalah yang kadung keterlaluan, karena sudah merasuk dan menyebar ke segala sendi kehidupannya. Namun apa mau dikata, dirinya tak punya lagi kuasa.
“Apa yang mengganggu pikiranmu, Teman?”
Suryati terkesiap, di sampingnya kini duduk seorang pria yang tak pernah ia menduganya. Chandra, kawan satu kelas, lelaki menawan yang tak satu pun wanita mau menolaknya.
“Kau, sedang apa di sini? Mengagetkan sekali,” ucap Suryati sedikit canggung.
“Tak ada, hanya bersantai. Dan kau? Kenapa dengan wajah murungmu itu?”
“Aku... tak apa-apa.”
Begitulah cara Tuhan mengalihkan kegundahan hati perempuan tanggung itu. Melalui lelaki elok itu, gundah Suryati yang sebelumnya kacau seolah teralihkan dan hilang untuk beberapa saat. Mereka berdua larut dalam obrolan hangat antar keduanya. Saling bertukar tanya tentang hal-hal di kampusnya, tentang teman-temannya, tentang semua.
٭٭٭

Di depan layar komputer itu, matanya masih coba dipaksakan terbuka, meskipun sudah tampak kemerah-merahan. Di jejaring sosial itulah ia bercakap-cakap cukup lama dengan Chandra hingga malam larut.
 “Dulu, aku pun pernah sepertimu, menunggu dalam ketidakpastian. Kami terpisah cukup jauh, antara Jakarta dan Sulawesi. Ia berangkat ke sana untuk mengikuti ayahnya dalam sebuah proyek di Bantimurung. Sampai detik ini, aku tak lagi mendapat kabar darinya. Dibilang putus, tidak. Tetapi, dibilang masih berhubungan pun sulit,” ujar lelaki itu di pesan masuk Facebook Suryati, “Jadi, dari pada kau terus merundungi nasib malangmu itu, lebih baik kau jalani hidupmu dengan syukur. Bukankah banyak hal lain yang bisa kita lakukan selain bersedih dan memasang wajah murung? Sudah larut, beristirahatlah.”
Suryati terdiam cukup lama. Ada hal aneh yang perlahan menjangkiti pikirannya kini. Hal tentang segala perasaan tak biasa yang dirasakannya. Tentang berbagai kesamaan dirinya dengan Chandra.
Maka, sebelum dimatikannya jejaring sosial itu dan berangkat tidur, sebuah kebingungan hati diungkapkannya lewat segurat tulisan pada status jejaring sosialnya.
Serandau terjebak di ngalau/ lilau, mencari jalan/ sayap sobek, badan robek/ menghantam stalaktit hingga lidah tercekcek/ jatuh bangun, kaki menjungkit/ bila cinta tak ada, hidup apalah arti?/.
٭٭٭

            Dan sebagaimana kekhawatiran-kekhawatiran hati yang sempat terbersit hadir dan menghinggapi diri, Suryati semakin sadar bahwa dirinya seolah dibuat terpelanting ke dalam ceruk permainan yang mencandu. Tetapi lagi-lagi kuasanya payah. Semakin hari, simpatinya pada Chandra kian bertumbuh tinggi.
            Berminggu-minggu sudah mereka merangkai cerita manis bersama. Dengan segala kebersamaan yang tampak indah itu, mereka bahkan tak lagi sungkan untuk  saling berbagi kasih dan perhatian, berbagi segelas kopi di atas sebuah meja pada sudut kafe favorit mereka. Dan sungguhpun awal pertemuannya dengan Chandra ketika itu memang dimaksudkan Tuhan sebagai pengalih atas kerisauan hatinya, namun kini Suryati telah benar-benar terlalu jauh melangkahkan hatinya.
            “Bisakah kau menolehkan matamu ke arah hatiku ini, Suryati? Kita serupa! Senasib, sependeritaan! Tak bisakkah sekarang kau lihat kesungguhan di wajahku?” gumam Chandra sambil bertekuk penuh harap di hadapan Suryati, “Aku ingin memberimu bahagia, Suryati.”
            Perempuan itu pucat pasi. Mulutnya bisu. Matanya terbelalak. Pikirannya benar-benar diguncang kebimbangan yang mencangcang. Adalah sebuah dusta yang gila jika ia tak sedikitpun  menaruh rasa pada lelaki tampan yang tengah bertekuk penuh harap di hadapannya sekarang, namun bathinnya juga meronta di sisi yang lain. Ia tak ingin menjadi perempuan munafik yang membunuh cinta. Hati kecilnya tak akan bisa menerima kesalahan fatal seperti itu tersemat di dirinya begitu saja.
            “Sadarkah yang baru saja kau ucap tadi?” ujar Suryati menahan tangis.
            “Masih perlukah kuberdiri dan berteriak lepas sambil mengucap cinta hanya untuk membuatmu yakin, Suryati? Bila itu perlu, aku tak ragu. Saat ini juga kulakukan.”
            Lelaki itu segera merengkuh jemari tangan Suryati. Telapak tangannya sangat hangat. Jelas tersirat, sorot mata mengharap yang tertuju padanya. Suryati semakin kacau. Hati dan pikirannya kini bertarung sengit.
            “Aku ingin pulang..!”
٭٭٭

            Sudah tiga hari perempuan itu mengurung diri di kamar, meringkuk di pojokan tempat tidur kamarnya sambil menyalahkan dirinya sendiri. Rambutnya awut-awutan. Mukanya sedikit pucat. Matanya lebam, tak terhitung berapa kali ia menangis. Tubuhnya begitu lemas.  Sudah beberapa hari ini ia kurang makan, sementara hati dan pikirannya terus dipaksa berpikir keras di setiap detiknya hanya untuk menentukan sebuah pilihan. Pilihan yang tak seorang pun wanita akan berbahagia bila dihadapkan dengannya.
            Telepon genggamnya terus berdering, namun tak sedikitpun perempuan itu menghiraukan. Di layar telepon genggamnya terlihat jelas sederet puluhan pesan masuk yang dikirim oleh Chandra. Semuanya sengaja tak dibaca dan ditanggapinya, hanya dibiarkan begitu saja. Perempuan itu hanya diam, kemudian menghadapkan wajahnya ke arah layar komputer. Di sana, di jejaring sosial itu, ia tumpahkan segala kebingungan hatinya.
            Karma segala karma/ sinuhun menukas kirana dengan cela/ kernyat-kernyut kecubung/ semesta berpeluh angkara murka/ berserak payah gelisah/ susah resah susah/ dinyalakan unggun, gelap/ diberi gula, pahit/ tersisa dilema untuk kumakan sendiri/.
            Benar memang, bahwa segala keluh dan kesah yang terlalu banyak mengendap dalam pikiran ada baiknya tak dibiarkan lama mengerak. Akan terlalu bahaya jika tidak segera ditumpahkan. Namun, di lain sisi, akan selalu ada jiwa lain yang −mau tak mau− ikut menderita atas kejujuran hati yang diungkapkan Suryati. Dialah Chandra.
            Lihatlah ia sekarang, di depan layar komputer lipatnya, selepas melihat keluhan hati Suryati, ia bak Adam yang baru saja dilemparkan Tuhan dari surga-Nya karena terlalu jauh melangkah. Hatinya kalut, hancur berantakan. Maksud hati ingin menghapus lara hati seorang wanita, namun yang didapat olehnya tak ada. Cinta tak dapat, bahagia pun tidak.
            Maka, lewat tuts-tuts keyboardnya, lelaki itu mulai menuliskan sikap hatinya terhadap kegelisahan Suryati.
            Aku mafhum sedari awal, kita ini tak lebih dari jiwa-jiwa yang memiliki cinta di lain sisi bumi. Nestapa aku mendengar kenyataan ini. Pun ketika kutahu engkau ternyata sama sepertiku. Namun, terlalu pongah kiranya jika aku terus menerus mengharapkan hatimu. Kau benar, kita ini telah diikat satu dengan lainnya oleh janji hati. Janji yang tak mengenal jarak. Tak peduli seberapapun jauhnya. Dan karena itu semua, maka lekas kembalikanlah hatimu itu padanya. Wajah dialah yang seharusnya engkau tunggu. Biarlah. Biarlah segala salah dan sakit ini kutanggung, supaya peristiwa ini kelak selalu menjadi nasihat dan renungan atas kesetianku ataupun engkau. Maafkan aku... (Yang telah mengganggu kesetianmu, Chandra).
            Kedua anak manusia itu kemudian saling terdiam di hadapan layar komputernya. Mereka tak lagi bertanya-tanya. Mereka tak lagi mengguratkan tawa. Mereka menangis, menangisi sebuah ketaatan pada kebenaran sekaligus pengkhianatan atas wajah-wajah dari hati mereka yang berjauhan. Mereka kembali kepada kesetiaan. Kesetiaan yang tak pernah mengenal jarak.

Tanah Jawara, 2 Juni 2014


Note: Cerpen "Wajah-wajah yang Berjauhan" merupakan bagian dari Antologi Cerpen berjudul "Danghyang" karya Doni Apriyanto.

No comments:

Post a Comment