Di sanalah wajah muram itu diketemukan, di balik sebuah kaca
jendela pada bangunan berlantai dua. Di sana, tampak sekali raut sendu seorang
anak manusia yang teramat lara. Seorang perempuan tanggung yang sedang didera
gelisah menggunung. Dan meski lembayung senja terus mengantar surya perlahan
hingga hilang ke peraduan, gelisah bathinnya tak kunjung redam.
Sesekali matanya melirik layar telepon genggam yang ada di
tangannya, sesekali telepon genggam itu ditaruhnya kembali. Tubuhnya tak kalah
bingung, sudah beberapa kali ia bergonta-ganti posisi. Mulai dari duduk merunduk
dengan dagu tertahan di atas lipatan siku, hingga berdiri di antara gordin
jendela yang tertiup angin senja, semuanya sudah ia coba, namun hatinya tak jua
berjumpa tenang.
Tak lama, sebuah pesan singkat tiba-tiba saja bertandang di
telepon genggamnya. Rona wajahnya seketika berubah. Ia segera membuka pesan itu
dengan sedikit tergesa. Matanya terus menyorot layar, hampir tak berkedip.
Setelahnya, ia langsung beranjak pergi menuju sebuah meja komputer di ruang
tidurnya. Di layar komputer itu, matanya tak berhenti berkaca-kaca.
Untuk adindaku, Suryati,
yang selalu menyimpan rinduku.
Teriring salam dan doa
tulus untuk adinda di sana. Bagaimana kabarmu di sana? Baik kah? Sebelumnya,
ingin Mas ucapkan maaf yang mendalam
perihal kerterlambatan Mas mengirimimu kabar. Kiranya harap dimaklum, karena
letak geografis di tempat Mas bertugas terbilang masih sulit untuk dapat
menangkap sinyal, sehingga komunikasi di antara kita terasa merenggang.
Namun, terlepas dari
kesusahan itu, beruntung rasanya hari ini Mas berkesempatan mendapati sebuah
warung internet bantuan pemerintah, meski jaraknya berpuluh-puluh kilometer
sudah dari tempat Mas bertugas, namun sungguh, bahagia Mas tak terkira
menemukan fasilitas seperti ini. Oleh karenanya, tidak Mas sia-siakan
kesempatan ini untuk segera berkirim surat elektronik dan mengabarimu hari ini
juga.
Adinda Suryati yang
senantiasa Mas rindukan, bersamaan dengan datangnya surat elektronik ini, tak
lupa Mas juga melampirkan empat buah foto terbaru Mas yang diambil beberapa
waktu lalu. Semoga foto-foto ini kiranya dapat mengobati kerinduanmu di sana.
Doa dan semangatmu selalu Mas harapkan, agar kiranya cita-cita Mas, cita-cita
kita, untuk memperoleh kemapanan sebelum melangkah ke biduk sesungguhnya dapat
segera terkabul, kelak. Aamiin.
Yang selalu menyimpan
namamu, Mas Pras.
٭٭٭
Rasa rindu itu amat sulit ditebak. Bak sisi mata dadu yang coba
digulirkan di atas meja, kemana berlabuhnya tak pernah kita tahu. Persis
seperti kegalauan perempuan tanggung itu. Sekarang Suryati lebih banyak
termenung di kampusnya. Rupanya, masalah hatinya yang terpaut rindu pada Pras
sudah terbilang parah. Hampir empat bulan sudah Pras tak mengiriminya kabar.
Kini, segala yang ada di pikirannya seolah menjadi kacau; makan tak enak, tidur
tak nyenyak, belajar di kampus pun terasa semakin muak.
Beberapa kali bathinnya menyadari kalau apa yang mengganggu
pikirannya adalah sebuah masalah yang kadung keterlaluan, karena sudah merasuk
dan menyebar ke segala sendi kehidupannya. Namun apa mau dikata, dirinya tak
punya lagi kuasa.
“Apa yang mengganggu pikiranmu, Teman?”
Suryati terkesiap, di sampingnya kini duduk seorang pria yang
tak pernah ia menduganya. Chandra, kawan satu kelas, lelaki menawan yang tak
satu pun wanita mau menolaknya.
“Kau, sedang apa di sini? Mengagetkan sekali,” ucap Suryati
sedikit canggung.
“Tak ada, hanya bersantai. Dan kau? Kenapa dengan wajah murungmu
itu?”
“Aku... tak apa-apa.”
Begitulah cara Tuhan mengalihkan kegundahan hati perempuan
tanggung itu. Melalui lelaki elok itu, gundah Suryati yang sebelumnya kacau
seolah teralihkan dan hilang untuk beberapa saat. Mereka berdua larut dalam
obrolan hangat antar keduanya. Saling bertukar tanya tentang hal-hal di
kampusnya, tentang teman-temannya, tentang semua.
٭٭٭
Di depan layar komputer itu, matanya masih coba dipaksakan
terbuka, meskipun sudah tampak kemerah-merahan. Di jejaring sosial itulah ia
bercakap-cakap cukup lama dengan Chandra hingga malam larut.
“Dulu, aku pun pernah sepertimu, menunggu
dalam ketidakpastian. Kami terpisah cukup jauh, antara Jakarta dan Sulawesi. Ia
berangkat ke sana untuk mengikuti ayahnya dalam sebuah proyek di Bantimurung.
Sampai detik ini, aku tak lagi mendapat kabar darinya. Dibilang putus, tidak.
Tetapi, dibilang masih berhubungan pun sulit,” ujar lelaki itu di pesan masuk Facebook Suryati, “Jadi, dari pada kau terus merundungi nasib malangmu itu, lebih baik
kau jalani hidupmu dengan syukur. Bukankah banyak hal lain yang bisa kita
lakukan selain bersedih dan memasang wajah murung? Sudah larut,
beristirahatlah.”
Suryati terdiam cukup lama. Ada hal aneh yang perlahan
menjangkiti pikirannya kini. Hal tentang segala perasaan tak biasa yang
dirasakannya. Tentang berbagai kesamaan dirinya dengan Chandra.
Maka, sebelum dimatikannya jejaring sosial itu dan berangkat
tidur, sebuah kebingungan hati diungkapkannya lewat segurat tulisan pada status
jejaring sosialnya.
Serandau terjebak di ngalau/ lilau,
mencari jalan/ sayap sobek, badan robek/ menghantam stalaktit hingga lidah
tercekcek/ jatuh bangun, kaki menjungkit/ bila cinta tak ada, hidup apalah
arti?/.
٭٭٭
Dan sebagaimana
kekhawatiran-kekhawatiran hati yang sempat terbersit hadir dan menghinggapi
diri, Suryati semakin sadar bahwa dirinya seolah dibuat terpelanting ke dalam
ceruk permainan yang mencandu. Tetapi lagi-lagi kuasanya payah. Semakin hari,
simpatinya pada Chandra kian bertumbuh tinggi.
Berminggu-minggu sudah mereka
merangkai cerita manis bersama. Dengan segala kebersamaan yang tampak indah
itu, mereka bahkan tak lagi sungkan untuk
saling berbagi kasih dan perhatian, berbagi segelas kopi di atas sebuah
meja pada sudut kafe favorit mereka. Dan sungguhpun awal pertemuannya dengan
Chandra ketika itu memang dimaksudkan Tuhan sebagai pengalih atas kerisauan
hatinya, namun kini Suryati telah benar-benar terlalu jauh melangkahkan
hatinya.
“Bisakah kau menolehkan matamu ke
arah hatiku ini, Suryati? Kita serupa! Senasib, sependeritaan! Tak bisakkah
sekarang kau lihat kesungguhan di wajahku?” gumam Chandra sambil bertekuk penuh
harap di hadapan Suryati, “Aku ingin memberimu bahagia, Suryati.”
Perempuan itu pucat pasi. Mulutnya
bisu. Matanya terbelalak. Pikirannya benar-benar diguncang kebimbangan yang
mencangcang. Adalah sebuah dusta yang gila jika ia tak sedikitpun menaruh rasa pada lelaki tampan yang tengah
bertekuk penuh harap di hadapannya sekarang, namun bathinnya juga meronta di
sisi yang lain. Ia tak ingin menjadi perempuan munafik yang membunuh cinta.
Hati kecilnya tak akan bisa menerima kesalahan fatal seperti itu tersemat di
dirinya begitu saja.
“Sadarkah yang baru saja kau ucap
tadi?” ujar Suryati menahan tangis.
“Masih perlukah kuberdiri dan
berteriak lepas sambil mengucap cinta hanya untuk membuatmu yakin, Suryati?
Bila itu perlu, aku tak ragu. Saat ini juga kulakukan.”
Lelaki itu segera merengkuh jemari
tangan Suryati. Telapak tangannya sangat hangat. Jelas tersirat, sorot mata
mengharap yang tertuju padanya. Suryati semakin kacau. Hati dan pikirannya kini
bertarung sengit.
“Aku ingin pulang..!”
٭٭٭
Sudah tiga hari perempuan itu
mengurung diri di kamar, meringkuk di pojokan tempat tidur kamarnya sambil
menyalahkan dirinya sendiri. Rambutnya awut-awutan. Mukanya sedikit pucat.
Matanya lebam, tak terhitung berapa kali ia menangis. Tubuhnya begitu lemas. Sudah beberapa hari ini ia kurang makan,
sementara hati dan pikirannya terus dipaksa berpikir keras di setiap detiknya
hanya untuk menentukan sebuah pilihan. Pilihan yang tak seorang pun wanita akan
berbahagia bila dihadapkan dengannya.
Telepon genggamnya terus berdering,
namun tak sedikitpun perempuan itu menghiraukan. Di layar telepon genggamnya
terlihat jelas sederet puluhan pesan masuk yang dikirim oleh Chandra. Semuanya
sengaja tak dibaca dan ditanggapinya, hanya dibiarkan begitu saja. Perempuan
itu hanya diam, kemudian menghadapkan wajahnya ke arah layar komputer. Di sana,
di jejaring sosial itu, ia tumpahkan segala kebingungan hatinya.
Karma
segala karma/ sinuhun menukas kirana dengan cela/
kernyat-kernyut kecubung/ semesta berpeluh angkara murka/ berserak payah
gelisah/ susah resah susah/ dinyalakan unggun, gelap/ diberi gula, pahit/
tersisa dilema untuk kumakan sendiri/.
Benar memang, bahwa segala keluh dan
kesah yang terlalu banyak mengendap dalam pikiran ada baiknya tak dibiarkan
lama mengerak. Akan terlalu bahaya jika tidak segera ditumpahkan. Namun, di
lain sisi, akan selalu ada jiwa lain yang −mau tak mau− ikut menderita atas
kejujuran hati yang diungkapkan Suryati. Dialah Chandra.
Lihatlah ia sekarang, di depan layar
komputer lipatnya, selepas melihat keluhan hati Suryati, ia bak Adam yang baru
saja dilemparkan Tuhan dari surga-Nya karena terlalu jauh melangkah. Hatinya
kalut, hancur berantakan. Maksud hati ingin menghapus lara hati seorang wanita,
namun yang didapat olehnya tak ada. Cinta tak dapat, bahagia pun tidak.
Maka, lewat tuts-tuts keyboardnya, lelaki itu mulai menuliskan
sikap hatinya terhadap kegelisahan Suryati.
Aku
mafhum sedari awal, kita ini tak lebih dari jiwa-jiwa yang memiliki cinta di
lain sisi bumi. Nestapa aku mendengar kenyataan ini. Pun ketika kutahu engkau
ternyata sama sepertiku. Namun, terlalu pongah kiranya jika aku terus menerus
mengharapkan hatimu. Kau benar, kita ini telah diikat satu dengan lainnya oleh
janji hati. Janji yang tak mengenal jarak. Tak peduli seberapapun jauhnya. Dan
karena itu semua, maka lekas kembalikanlah hatimu itu padanya. Wajah dialah
yang seharusnya engkau tunggu. Biarlah. Biarlah segala salah dan sakit ini
kutanggung, supaya peristiwa ini kelak selalu menjadi nasihat dan renungan atas
kesetianku ataupun engkau. Maafkan aku... (Yang telah mengganggu kesetianmu,
Chandra).
Kedua anak manusia itu kemudian
saling terdiam di hadapan layar komputernya. Mereka tak lagi bertanya-tanya.
Mereka tak lagi mengguratkan tawa. Mereka menangis, menangisi sebuah ketaatan
pada kebenaran sekaligus pengkhianatan atas wajah-wajah dari hati mereka yang
berjauhan. Mereka kembali kepada kesetiaan. Kesetiaan yang tak pernah mengenal
jarak.
Tanah Jawara, 2 Juni 2014
Note: Cerpen "Wajah-wajah yang Berjauhan" merupakan bagian dari Antologi Cerpen berjudul "Danghyang" karya Doni Apriyanto.
No comments:
Post a Comment