Wednesday, August 28, 2019

Jangan Pelit dengan Sumbangan Jum'at




Orang bijak pernah berkata, “Salah satu hal yang perlu dicatat kalau ingin jadi orang yang sukses adalah jangan pernah pelit untuk berbagi kebaikan kepada orang banyak”.
Untuk anak sekolah, uang jajan itu memang bukan nomor satu, tapi hal yang paling utama. Hehehe. Saking sayangnya dengan uang jajannya, nggak sedikit dari para siswa yang bersikap “agak pelit”, meski hal itu sebenarnya untuk kebaikannya sendiri.
Sekarang kita nggak lagi bahas perihal temen sekolah yang biasa malakin atau minjemin uang temennya loh yah. Tapi yang lagi dibahas sekarang adalah perihal tentang iuran atau sumbangan hari jum’at yang biasa ada di sekolah. Di beberapa sekolah biasanya ada iuran sukarela yang diedarkan sama anak-anak Rohis (Remaja Masjid Sekolah) ke kelas-kelas. Biasanya sumbangan itu nantinya dipergunakan untuk hal-hal menyangkut biaya pembangunan masjid sekolah, pembiayaan listrik masjid, dan sebagainya. Di sekolah kalian ada nggak?
Anak-anak Rohis itu biasanya keliling ke kelas-kelas sambil bawa kotak kenclengan sebagai tempat untuk menampung sumbangan para siswa. Di sekolah kalian ada nggak? Terkadang, ada beberapa siswa yang ngasih, ada juga siswa yang nggak ngasih.
Nah, sekarang “Konten Menulis Amazing” mau kasih tau nih ke siswa-siswa agar jangan pernah pelit untuk kasih sumbangan jum’at. Tau nggak sih, itu adalah kesempata langka. Sumbangan di hari Jum’at itu adalah suatu kebaikan yang pahalanya berlipat ganda. Saking baiknya sumbangan dihari jum’at, kalian bisa dapetin balesan kebaikan yang berlipat-lipat. Boleh jadi dari sumbangan yang kalian kasih itu kalian dapet banyak kemudahan untuk melalui banyak hal selama beraktivitas di sekolah dan luar sekolah.
Selama ini kalau kalian merasa mudah dalam menerima pelajaran, bisa jadi itu merupakan salah satu balasan atas kebaikan kalian dalam memberikan sumbangan jum’at secara ikhlas. Kita nggak pernah tau kan? So, nanti lagi kalau ada sumbangan Jum’at, jangan pernah ragu untuk memberi yah.
Salam Amazing!

Sunday, August 25, 2019

3 Perbedaan Prinsip antara Siswa Amazing dan Siswa Biasa





Prinsip itu penting buat seseorang. Dan percaya nggak percaya, prinsip juga bisa mempengaruhi hidup seseorang. Di dalam sebuah prinsip tidak sedikit hadir gambaran atas mindset (cara berpikir) seseorang yang mana akan cukup berpengaruh bagi kehidupannya. Ngomong-ngomong soal prinsip, siswa atau mahasiswa juga punya prinsip loh. Hanya saja antara satu siswa/ mahasiswa dengan yang lainnya mungkin berbeda-beda.

Kali ini, Menulis Amazing akan coba membahas 3 PERBEDAAN PRINSIP antara Siswa Amazing VS Siswa Biasa atau Rata-Rata.

Pertama, Siswa Amazing rata-rata memiliki prinsip disiplin yang baik. Mereka memiliki prinsip “Lebih baik menunggu 10 menit daripada telat 1 menit”, sementara itu siswa-siswa pada umumnya atau siswa rata-rata tidak sedikit yang memegang prinsip “Biarin telat, yang penting datang. Yang lain juga pada telat.”
Kedua, Siswa Amazing itu berani untuk beda, selama hal itu baik. Sementara siswa lainnya rata-rata malu untuk menjadi berbeda. Hal seperti inilah yang menjadikan siswa Amazing semakin menjadi lebih unik, berbeda dan lebih percaya diri. Sebaliknya, siswa-siswa kebanyakan tidak demikian.
Ketiga, siswa Amazing itu Mandiri, anti ikut-ikutan, anti bergantung pada teman. Hal ini yang menjadikan siswa Amazing lebih kokoh dalam berpendirian serta mandiri dalam banyak hal, sementara siswa-siswa lainnya kebanyakan mudah untuk ikut-ikutan dan mudah bergantung pada orang lain.

Ketiga perbedaan ini sekilas terlihat sepele, tapi percayalah tiga perbedaan ini berpengaruh besar di masa depan. Semoga bermanfaat, Salam Amazing! :)


Thursday, August 22, 2019

Saat Nilai Teman yang Nyontek ke Kamu Lebih Besar dari pada Nilai Kamu




Salam Amazing!

Saat nilai temen yang nyontek ke kamu lebih besar daripada nilai kamu, apa yang akan kamu rasakan? Sedih? Benci? Kesel? Pokoknya campur aduk rasanya yah. Momen seperti itu kayanya hampir dialami oleh semua orang yang pernah sekolah. Dan sebenernya nggak cuma oleh mereka yang sekolah atau kuliah aja loh, tapi momen seperti itu juga terkadang terjadi di lingkup dunia kerja atau dunianya orang dewasa.

Terus kira-kira kalau hal itu sudah terjadi, apa yang harus kita lakukan? Yang Pertama, kamu harus BERANI TERIMA itu. Nasi sudah menjadi bubur, kamu udah nggak bisa ngerubah apa yang udah terjadi, daripada kamu kesel sama diri sendiri, lebih baik kamu berlapang dada menerima hal itu. Dengan berlapang dada, hati kamu akan menjadi jauh lebih ringan dan nggak stress kepikiran lagi.

Yang Kedua, EVALUASI DIRI. Kita harus jujur dan berani mengakui bahwa bagaimana pun juga peristiwa itu terjadi karena adanya campur tangan kita di dalamnya. Jadi sudah, Stop menyalahkan orang lain. Cukup salahkan diri kita sendiri. Jadikan hal tersebut sebagai cambuk pelajaran agar di masa mendatang kita tidak lagi tolong menolong dalam kesalahan (mencontek atau bekerja sama dalam ujian), karena tolong menolong dalam kesalahan hanya akan membuat kita kecewa di masa mendatang. Intinya, jika saat ini kalian marah sampai ke ubun-ubun dan kesal setengah mati dengan teman yang mendapatkan nilai lebih baik daripada kalian, kemarahan dan kesedihan itu sia-sia dan hanya akan berlalu begitu saja jika kalian tidak melakukan evaluasi diri.

Yang Terakhir, PERBAIKI DIRI. Ke depan, kalau kamu nggak mau dikecewain seperti itu lagi, maka kamu wajib berubah. Kamu wajib memperbaiki diri kamu, kamu wajib memperbaiki attitude kamu. Cobalah belajar untuk tegas pada diri sendiri dan juga pada teman-teman mu yang biasa mengajakmu bekerjasama atau mencontek, katakan pada mereka jika kalian tidak ingin bekerjasama.

Perubahan itu penting. Meski sulit, cobala untuk melakukan perubahan kea rah yang lebih baik. Sedikit demi sedikit, selangkah demi selangkah. Semoga saran ini bermanfaat untuk teman-teman Amazing !





Tuesday, August 20, 2019

4 Jenis Siswa yang Lebih Mudah dan Lebih Lama Diingat Guru




Salam Amazing!
Apa kabar sohib-sohib Amazing! Semoga kalian semua selalu sehat dan semangat.
Di episode kali ini Menulis Amazing akan membahas tentang topik "4 Jenis Siswa yang Lebih Mudah dan Lebih Lama Diingat Guru."

Guru itu manusia biasa. Nggak semua siswa bisa diingatnya dengan baik. Bukan karena mereka (guru) tidak ingin mengenal semua siswanya, tapi terkadang karena keterbatasan daya ingatnya sebagai manusia biasa yang nggak mudah menghafal seluruh siswa dengan cepat atau untuk dapat mengingatnya dalam waktu yang lama.
Tapi tahu nggak? Sebenernya ada beberapa jenis siswa loh yang lebih mudah dan lebih lama diinget oleh guru, bahkan untuk waktu yang cukup lama. Berikut 4 jenis siswa tersebut:

1. SISWA CERDAS, PINTAR DAN RAJIN
Siswa cerdas, pintar dan rajin sangat mudah diingat oleh guru mengingat keaktifan mereka baik di dalam atau di luar kelas. Siswa-siswa yang cerdas, rajin atau pintar umumnya sering tampil di depan kelas atau luar sekolah dimana hal tersebut membuat mereka lebih mudah masuk di ingatan para guru.

2. SISWA NAKAL ATAU USIL

Siswa nakal atau usil juga merupakan jenis siswa yang mudah diingat oleh guru. Bedanya adalah jika siswa rajin diingat karena hal positifnya, sementara siswa yang nakal diingat karena hal negatifnya. Siswa yang nakal atau usil tidak jarang sering menjadi bahan obrolan dan evaluasi para guru di ruang guru loh. Nggak heran siswa nakal atau usil masuk dalam kategori siswa yang mudah diingat.






3. SISWA YANG PUNYA SEJARAH ATAU BACKGROUND KHUSUS
Siswa yang memiliki sejarah atau background khusus juga merupakan kategori siswa yang mudah diingat oleh guru loh. Misal, seorang siswa yang merupakan anak dari seorang artis terkenal.


4. SISWA YANG UNIK

Terakhir, siswa yang dapat dengan mudah diingat oleh guru adalah siswa yang unik. Keunikan memang merupakan hal yang tak biasa. Siswa yang unik mudah diingat oleh guru karena hal-hal unik yang ada pada dirinya. Keunikan itu bisa berupa ciri khas, bentuk atau bawaan fisik, tingkah laku, cara berpikir, kebiasaan dan lain sebagainya.

Kira-kira kalian masuk ke tipe yang mana Sohib Amazing ?


Thursday, August 15, 2019

Pemimpin yang Tak Memiliki Uang (oleh: D. Apriyanto)





            Dan ternyata benar tentang nubuat yang pernah ditakwilkan oleh para ulama dan sesepuh di masa lalu, bahwa apa yang sejak dahulu digembar-gemborkan oleh kaum imperialis barat perihal keadiluhungan suatu tingkat pendidikan tidaklah sepenuhnya dapat menjadi jaminan. Buktinya hari ini, di sehamparan langit dan bumi yang membentang menyelimuti ibu pertiwi, kebenaran masihlah menjadi nyanyian sembilu pengusir malam nan kejam. Dinyanyikan oleh para korban dari manusia tak beriman yang terjerat dalam kemiskinan, kebodohan, bahkan keputusasaan.
            Celakanya, banyak manusia tak beriman yang mengaku betul-betul mafhum tentang hakikat sebenarnya iman. Tidak hanya itu, yang lebih membuat mulut tercengang yakni kenyataan bahwa kesemua manusia tak beriman itu adalah mereka yang tinggi dalam pendidikan maupun kekuasaan. Alhasil, masuklah Sardjita dalam daftar manusia lemah tak berkedudukan, korban kehinaan atas manusia-manusia yang tak beriman.
            Sudah delapan tahun dua puluh tiga hari Sardjita hidup tak karuan seperti ini, terus berpindah-pindah tempat persis seperti manusia prasejarah yang tengah dirundung resah. Istri dan anaknya yang masih balita semakin bersahabat dengan susah, terlebih saat mereka mengetahui kondisi kesejahteraan keluarganya yang semakin payah. Banyak orang-orang di sekitarnya mencibir sambil mengatakan bahwa apa yang tengah diderita oleh Sardjita saat ini sebagai akibat dari sikap sombong dan idealisnya yang terlalu parah.
⌘⌘⌘

               “Jadi Anda menolak semua aturan main yang telah disebutkan?” ketus seorang pejabat pemerintahan yang berdiri petantang petenteng di hadapan Sardjita. Sardjita mematung di pojokan ruang sambil pelan-pelan menundukkan kepalanya yang basah disirami ocehan. Nasibnya kini entah, persis seperti nasib-nasibnya dahulu sebelum dipindahtugaskan oleh atasan-atasannya yang serakah.
               “Saya hanya ingin berusaha untuk tetap bisa berlaku jujur, Pak. Hanya itu,” jawab Sardjita. Dan seperti apa yang diramalkan oleh kabanyakan orang, Sardjita untuk kesekian kali dalam pengalaman hidupnya sebagai pegawai pemerintahan dari kalangan kelas menengah– kembali dipindahtugaskan oleh atasannya ke tempat-tempat lain yang tak bersahabat.
               Dan tatkala Sardjita tiba di muka rumahnya, istri dan anaknya menatap wajahnya sendu dari balik jendela. Mungkin, dari gerak-gerik tubuh Sardjita yang menenteng tas kerja berhias muka muram durja, istrinya sudah akan mengetahui bahwa dirinya beserta suami dan anaknya kembali akan berpindah tempat untuk memulai kehidupan dari awal lagi.
               “Kang Sardjita dimutasi lagi?” Istrinya menghampirinya sambil meraih tas kerja yang masih melekat di genggaman tangannya. Sardjita terdiam beberapa sesaat, kemudian ia tersenyum kecil.
               “Tidak Neng, Akang tidak dimutasi.”
               “Lalu kenapa Akang pulang kerja secepat ini?”
               “Akang memutuskan untuk mengundurkan diri.”
⌘⌘⌘

               Empat hari empat malam Sardjita merenung dalam rumah. Sepeniggal dari pekerjaannya, tiada lain yang dapat memenuhi kebutuhan perut keluarganya melainkan seikat singkong yang diperolehnya dari kebun di pekarangan belakang rumah. Dan seperti malam-malam sebelumnya, Sardjita kembali menenggelamkan dirinya dalam kesyahduan syair-syair yang ditulisnya di atas secarik kertas putih sambil diterangi lampu temaram.
               “Bilakah itu terjadi?”: dahulu aku pernah mendengar/ ketika benteng tebal berisi raja bengis nan sadis/ dan perihal para penggembala domba/ menanti panjang kerana tak kunjung berjumpa  wahah/ lalu manakala Konstantinopel nan agung melambai/ mereka bertandang menang lagi senang/ bilakah itu terjadi?
               Kini, pelan-pelan Sardjita berubah ke dalam bentuk pengejawantahan seorang penyair yang lugu. Tak dinyana, syair-syairnya kini malah menjalar dan berkeliaran di sehamparan ujung Tanah Jawa. Banyak orang-orang yang dahulu sempat mencibirnya, namun kini malah tergila-gila untuk membaca syair-syair Sardjita yang telah termaktub di beberapa lembaran buku syair pujangga. Dan akhirnya kini, syair-syair Sardjita menjadi nyaring dikenali malam gelap yang menghempas bayu, namun teduh menudungi siang yang gersang.
              Dan ketika kabar perihal Sardjita sampai pada penguasa di ujung Tanah Jawa, maka menyeruaklah murka di kalangan para pejabat yang ada di sana. Saat itu, Sentosa –pemimpin bengis nan tamak dari pemerintahan ujung Tanah Jawa– betul-betul dibuatnya menjadi jengkel tiada tara.
               “Bagaimana bisa syair-syair rendahan yang ditulisnya menyebar di kalangan masyarakat luas?!” bentak Sentosa di hadapan para pejabat bawahannya. “Ini jelas-jelas mengancam stabilitas dan kelanggengan kekuasaan saya!”
               Mendengar kemurkaan Sentosa, maka seluruh pejabat di sana segera dikerahkan agar dapat secepat mungkin meredam ancaman syair-syair Sardjita yang semakin menggila. Tidak hanya itu, rapat-rapat terselubung pun kini kian giat dilakukan oleh Sentosa. Hal ini dikarenakan tidak lama lagi pemilihan umum akan dilangsungkan, jadi jelaslah bila siasat harus lekas-lekas dibangun sejak sekarang. Jika tidak, jangan harap Sentosa akan kembali dapat merengkuh kata menang.
               Dalam berbagai rapat terselubung yang dihelat oleh Sentosa, seluruh pejabat, mulai dari tingkat tertinggi sampai tingkat terendah –tanpa ada pengecualian sedikit pun– diwajibkan untuk secara rutin hadir dan mendukung dirinya. Jika saja ada seseorang yang tertangkap basah membelot, maka hampir bisa dipastikan bahwa nasib mereka adalah sama seperti Sardjita. Ya, harus disingkirkan.
⌘⌘⌘

               Maka ketika segala kecamuk akan kekhawatiran Sentosa semakin memuncak menjelang hari pertarungan calon penguasa, kemudian –lagi-lagi– terdengar sepenggal syair yang telah lebih dulu dibentangkan oleh Sardjita dari atas gunung. “Yang Dinanti”: negeri titisan surga dari singgasana/ pekat dipeluk prahara bertuan/ terjamah halimun kerinduan putih/ adakah penantian pada panutan nanti?
               Sentosa semakin berang. Lalu dikumpulkan olehnya pasukan-pasukan pemakan uang untuk segera memungut serta membakar syair-syair Sardjita yang telah terlanjur berserakan di sana-sini. “Segera musnahkan! Jangan sampai ada syair-syair yang tersisa! Syair-syair ini bisa mencuci otak para masyarakat,” kata Sentosa tegas.
               Belumlah selesai satu ancaman, kemudian datanglah lagi ancaman lainnya. Kali ini, salah satu pejabat bawahan Sentosa menghadap padanya dengan napas terengah-engah. “Sardjita telah diusung oleh masyarakat sebagai calon penguasa, Pak,” lapor bawahannya.
               “Kurang ajar! Bagaimana bisa masyarakat kelas menengah dan rendahan seperti dia mencalonkan diri menjadi penguasa? Memangnya dia punya uang banyak?!
               Sentosa semakin tertekan, sementara prediksi kekuatan pasukannya masih belum bisa dipastikan. “Masih ada satu cara lagi Pak untuk menjatuhkan kekuatan Sardjita!” sahut orang kepercayaannya memberi masukan.
               “Apa?”
               “Uang dan ancaman.
               Dan setelahnya masukan itu diterima, maka bertebaranlah para pasukan pemakan uang di bawah perintah Sentosa. Saat itu, ketika fajar belum terbersit untuk menampakkan dirinya sedikit pun, para pasukan pemakan uang telah lebih dahulu mendatangi pintu demi pintu untuk menebar segala uang dan ancaman. Tidak tanggung-tanggung, bagi siapa saja yang berlagak sok suci seperti Sardjita –menolak dan tak ingin mendukung Sentosa– maka ancaman baginya adalah dikutuk menjadi nista.
               Ternyata apa yang dilakukan oleh Sentosa serta pasukannya menjadi jurus ampuh yang berguna. Buktinya, esoknya –di hari pemilihan umum– jumlah pendukung Sentosa meroket ke angkasa nan tak terkira. Tidak hanya itu, para simpatisan Sardjita –yang dahulu begitu berani lagi bersemangat mendukung Sardjita habis-habisan– berhasil disulapnya menjadi pecundang yang serba tertekan. Tertekan bila pekerjaannya hilang, tertekan bila nasib keluarganya menjadi malang. Lagi-lagi semuanya karena ancaman para pasukan Sentosa yang tak beriman. Kasihan.
⌘⌘⌘

               Tiga hari tiga malam Sentosa berpesta pora ditemani pasukan-pasukannya yang tak beriman. Mereka mabuk-mabukan sambil bergoyang dangdut sepanjang malam. Kemenangan keduanya ini tentu merupakan penantian panjang yang telah dinanti-nanti oleh Sentosa, jadi sudah barang tentu harus dirayakan. Terlebih dengan menghilangnya Sardjita beserta para pendukungnya pasca kekalahan di hari pemilihan, pasti akan menambah kesumringahan di benak Sentosa menjadi semakin tak karuan.
               Namun tak disangka tak dinyana, sekonyong-konyong seluruh masyarakat kembali terhenyak. Pesta pora yang dihelat oleh Sentosa selama tiga hari tiga malam itu pun bahkan terhenti untuk beberapa saat. Dari kejauhan, para hadirin pesta melihat banyak orang tengah beramai-ramai menjunjung tinggi kertas-kertas bertuliskan sebuah tulisan. Sentosa semakin kebingungan, maka diutuslah salah seorang bawahannya untuk menengok kertas apa gerangan.
               Sekembalinya bawahan Sentosa dari balik keramaian, Sentosa dibuat semakin terperangah mendapati bahwa kertas yang ada di hadapannya tersebut merupakan sebuah syair penentangan, “Kuda tak Berladam”: biar perang bergaung tiada henti/ pejuang-pejuang yang lemah lagi lusuh/ bertumpu pada kuda buta tak berladam/ tancapkan yakin teruntuk sabda lurus/ lalu bergumul dua kekuatan agung/ maka rakyat yang nanti berseru/ kemenangan kami bukanlah ragu./
               “Sialan! Siapa yang berani menulis syair-syair rendahan seperti itu lagi? Apakah Sardjita?” ketus Sentosa kesal.
               “Di sini tidak tertulis nama Sardjita, Pak,” jawab bawahan Sentosa.
               “Lalu siapa? Hah?”
               “Di sini hanya tertera bahwa syair ini ditulis oleh Pemimpin yang tak memiliki uang.”
               “Kurang ajar! Ini pasti Sardjita.”
               Sentosa semakin berang. Dikerahkanlah para pasukan intelijen kepercayaanya untuk dapat segera melacak dari mana ancaman ini berasal. Sentosa semakin takut bila segala kemenangan dan kesuksesan pemilihan dirinya sebagai pejabat pemerintahan sekonyong-konyong terancam gagal.
               “Gawat Pak, kemenangan kita akan digugat dan diadukan ke pihak berwenang!”
               “Apa?! Akan diadukan? Gawat!”
               Sentosa kebakaran jenggot. Dirinya masih tak habis pikir mengapa Sardjita teru menerus mengusik rencananya untuk dapat kembali duduk di atas takhta  kepemimpinan.
               Sentosa tak kehabisan akal. Dengan segudang lembaran uang yang dimilikinya, Sentosa kembali meracik strategi licik agar Sardjita dapat segera disingkirkan hingga ke akar-akarnya. Koper-koper besar dipersiapkan. Semuanya diisikan lembaran uang-uang kertas olehnya dengan nilai yang menakjubkan.
               “Untuk koper yang terakhir, tolong kalian isi dengan dollar. Cepat!” Sentosa menunjuk sebuah koper hitam di hadapannya. Dari sejumlah koper-koper yang disiapkannya itu, hanya koper terakhirlah yang mendapat perlakuan berbeda. Jika koper-koper sebelumnya hanya berisikan lembaran rupiah, maka koper terakhir berisikan dollar dengan jumlah nilai yang fantastis.
               Tidak ada satu pun dari anak buahnya yang tahu kepada siapa koper terakhir itu akan bertandang. Tidak ada satu pun dari mereka yang berani menanyakannya pada Sentosa.
               “Pak, lapor! Semua kopernya sudah siap, Pak!” lapor anak buah Sentosa.
               “Bagus, sekarang cepat kirim koper-koper itu ke sejumlah alamat yang ada di kertas ini. Segera!”
               Maka setelahnya koper-koper berisi uang itu dikirimkan, dimulailah segera babak baru persaingan antara Sentosa dan Sardjita. Ketegangan pecah saat itu, ketika banyak kelompok masyarakat mulai berani dan terang-terangan mendukung Sardjita sebagai penguasa. “Ini negara demokrasi! Kekuasaan dan kemenangan tidak akan bisa dibeli dengan uang!” tegas para pendukung Sardjita.
               Persaingan Sardjita dan Sentosa pun dilangsungkan. Sidang demi sidang mereka jalani. Pelbagai bentuk kecurangan pun dipaparkan oleh Sardjita pada pihak-pihak berwenang, mulai dari pengawas pemilu di tingkat daerah, hingga ke Mahkamah yang paling tinggi. Namun sayang, dari semua usaha yang dilakukan Sardjita, tidak ada satu pun yang benar-benar dapat membuahkan hasil dan mampu menggugurkan keputusan kemenangan atas Sentosa.
               “Nasib dan perjuangan kita selama ini akan ditentukan di Mahkamah tertinggi besok. Sentosa boleh saja menyangkal kita bersama bukti-bukti yang dipaparkan pada sidang-sidang di tingkat daerah, tapi tidak di Mahkamah yang tertinggi,” ucap Sardjita pada para pendukungnya.
⌘⌘⌘

               Suasana ruang sidang Mahkamah begitu penuh sesak hari ini, keputusan perihal tindak kecurangan yang dilakukan pihak Sentosa selama pemilu dilangsungkan akan segera dibacakan beberapa saat lagi. Sekumpulan simpatisan dari kedua belah kubu yang sudah sejak tadi menunggu tampak terus menerus beradu mulut. Mereka saling melempar ocehan sejak tadi. Beberapa polisi dengan sigap memisahkan  dua kerumunan yang terus menerus bersitegang agar hal-hal tidak diinginkan dapat dihindari.
               “Tenang.. tenang! Bisakah acara pembacaan keputusan ini kita mulai?” sahut Hakim di Mahkamah seraya menenangkan para hadirin yang tengah bersitegang. Suasana kembali tenang. Para hadirin kembali menatap Hakim Mahkamah dengan saksama sambil harap-harap cemas menunggu keputusan diumumkan.
               “Baik, dengan ini kami memutuskan, bahwa yang memenangkan kasus perkara ini adalah...”
               Semua orang menahan napas, tegang menanti keputusan.
               “Sentosa,” ucap Hakim Mahkamah.
               Suasana berubah riuh membahana. Sentosa dan para anak buahnya senang tak terkira. Mereka bersukacita sejadi-jadinya. “Sudah saya bilang bukan? Dollar dari saya itu ampuh! Asal kau tahu saja Sardjita, politik itu hanya untuk orang-orang kelas atas seperti saya! Hahaha!” sahut Sentosa pada Sardjita.
               Semua pendukung Sentosa bersorak sorai ketika kemenangan telah ditetapkan. Sementara itu, raut wajah Sardjita –dengan perasaan berantakan− masih pucat. Ia masih tak percaya dengan segala keputusan yang terjadi bahwa orang kecil sepertinya masih sulit untuk mencari keadilan di negeri berdaulat seperti ini, meski pada Mahkamah tertinggi sekali pun.
⌘⌘⌘

               Hari berganti minggu, dan minggu berganti bulan. Kini, Sentosa berdiri kokoh di puncak kekuasaanya dengan tiada seorang pun berani mengusik ketenangannya. Dan seperti nubuat-nubuat yang telah sering disebutkan oleh para ulama serta sesepuh di masa lalu tentang akhir cerita manusia-manusia bengis nan tamak, maka ditengah-tengah kenikmatan takhta kekuasaan itu, datanglah syair-syair kekesalan Tuhan yang telah dipersiapkan-Nya agar menyadarkan Sentosa karena telah begitu dzalim menyakiti semua.
               “Pak Sentosa, gawat Pak! Gawat!” lapor anak buah Sentosa.
               “Ada apa? Coba kau tenang sedikit, ceritakan pelan-pelan!”
               “Anu Pak, perihal kemenangan kasus pemilu Bapak ketika di Mahkamah waktu lalu, ternyata KPK berhasil menemukan indikasi adanya keterlibatan Bapak sebagai orang yang terkait kasus penyuapan.”
               “Apa?! Kamu serius?! Jangan main-main kamu!”
               “Betul Pak, saya serius. Bahkan beritanya sudah ada di televisi, Pak.”
               Sentosa kaget bukan main, sekonyong-konyong pikirannya menjadi kacau. Benar-benar kacau. Matanya berkunang-kunang, hampir membuatnya ambruk di tempat. Dalam hati kecilnya, Sentosa merasa amat menyesal telah melakukan tindakan hina dan semena-mena, namun semuanya sudah terlambat.

−Kota Serang,  November 2013−

Catatan: Cerpen "Pemimpin yang Tak Memiliki Uang" adalah bagian dari kumpulan cerpen "Danghyang" karya D. Apriyanto yang terbit pada 2014 silam.

Friday, August 9, 2019

Wajah-Wajah yang Berjauhan (Oleh: D.Apriyanto)




Di sanalah wajah muram itu diketemukan, di balik sebuah kaca jendela pada bangunan berlantai dua. Di sana, tampak sekali raut sendu seorang anak manusia yang teramat lara. Seorang perempuan tanggung yang sedang didera gelisah menggunung. Dan meski lembayung senja terus mengantar surya perlahan hingga hilang ke peraduan, gelisah bathinnya tak kunjung redam.
Sesekali matanya melirik layar telepon genggam yang ada di tangannya, sesekali telepon genggam itu ditaruhnya kembali. Tubuhnya tak kalah bingung, sudah beberapa kali ia bergonta-ganti posisi. Mulai dari duduk merunduk dengan dagu tertahan di atas lipatan siku, hingga berdiri di antara gordin jendela yang tertiup angin senja, semuanya sudah ia coba, namun hatinya tak jua berjumpa tenang.
Tak lama, sebuah pesan singkat tiba-tiba saja bertandang di telepon genggamnya. Rona wajahnya seketika berubah. Ia segera membuka pesan itu dengan sedikit tergesa. Matanya terus menyorot layar, hampir tak berkedip. Setelahnya, ia langsung beranjak pergi menuju sebuah meja komputer di ruang tidurnya. Di layar komputer itu, matanya tak berhenti berkaca-kaca.
Untuk adindaku, Suryati, yang selalu menyimpan rinduku.
Teriring salam dan doa tulus untuk adinda di sana. Bagaimana kabarmu di sana? Baik kah? Sebelumnya, ingin Mas ucapkan maaf  yang mendalam perihal kerterlambatan Mas mengirimimu kabar. Kiranya harap dimaklum, karena letak geografis di tempat Mas bertugas terbilang masih sulit untuk dapat menangkap sinyal, sehingga komunikasi di antara kita terasa merenggang.
Namun, terlepas dari kesusahan itu, beruntung rasanya hari ini Mas berkesempatan mendapati sebuah warung internet bantuan pemerintah, meski jaraknya berpuluh-puluh kilometer sudah dari tempat Mas bertugas, namun sungguh, bahagia Mas tak terkira menemukan fasilitas seperti ini. Oleh karenanya, tidak Mas sia-siakan kesempatan ini untuk segera berkirim surat elektronik dan mengabarimu hari ini juga.
Adinda Suryati yang senantiasa Mas rindukan, bersamaan dengan datangnya surat elektronik ini, tak lupa Mas juga melampirkan empat buah foto terbaru Mas yang diambil beberapa waktu lalu. Semoga foto-foto ini kiranya dapat mengobati kerinduanmu di sana. Doa dan semangatmu selalu Mas harapkan, agar kiranya cita-cita Mas, cita-cita kita, untuk memperoleh kemapanan sebelum melangkah ke biduk sesungguhnya dapat segera terkabul, kelak. Aamiin.

Yang selalu menyimpan namamu, Mas Pras.
٭٭٭

 Rasa rindu itu amat sulit ditebak. Bak sisi mata dadu yang coba digulirkan di atas meja, kemana berlabuhnya tak pernah kita tahu. Persis seperti kegalauan perempuan tanggung itu. Sekarang Suryati lebih banyak termenung di kampusnya. Rupanya, masalah hatinya yang terpaut rindu pada Pras sudah terbilang parah. Hampir empat bulan sudah Pras tak mengiriminya kabar. Kini, segala yang ada di pikirannya seolah menjadi kacau; makan tak enak, tidur tak nyenyak, belajar di kampus pun terasa semakin muak.
Beberapa kali bathinnya menyadari kalau apa yang mengganggu pikirannya adalah sebuah masalah yang kadung keterlaluan, karena sudah merasuk dan menyebar ke segala sendi kehidupannya. Namun apa mau dikata, dirinya tak punya lagi kuasa.
“Apa yang mengganggu pikiranmu, Teman?”
Suryati terkesiap, di sampingnya kini duduk seorang pria yang tak pernah ia menduganya. Chandra, kawan satu kelas, lelaki menawan yang tak satu pun wanita mau menolaknya.
“Kau, sedang apa di sini? Mengagetkan sekali,” ucap Suryati sedikit canggung.
“Tak ada, hanya bersantai. Dan kau? Kenapa dengan wajah murungmu itu?”
“Aku... tak apa-apa.”
Begitulah cara Tuhan mengalihkan kegundahan hati perempuan tanggung itu. Melalui lelaki elok itu, gundah Suryati yang sebelumnya kacau seolah teralihkan dan hilang untuk beberapa saat. Mereka berdua larut dalam obrolan hangat antar keduanya. Saling bertukar tanya tentang hal-hal di kampusnya, tentang teman-temannya, tentang semua.
٭٭٭

Di depan layar komputer itu, matanya masih coba dipaksakan terbuka, meskipun sudah tampak kemerah-merahan. Di jejaring sosial itulah ia bercakap-cakap cukup lama dengan Chandra hingga malam larut.
 “Dulu, aku pun pernah sepertimu, menunggu dalam ketidakpastian. Kami terpisah cukup jauh, antara Jakarta dan Sulawesi. Ia berangkat ke sana untuk mengikuti ayahnya dalam sebuah proyek di Bantimurung. Sampai detik ini, aku tak lagi mendapat kabar darinya. Dibilang putus, tidak. Tetapi, dibilang masih berhubungan pun sulit,” ujar lelaki itu di pesan masuk Facebook Suryati, “Jadi, dari pada kau terus merundungi nasib malangmu itu, lebih baik kau jalani hidupmu dengan syukur. Bukankah banyak hal lain yang bisa kita lakukan selain bersedih dan memasang wajah murung? Sudah larut, beristirahatlah.”
Suryati terdiam cukup lama. Ada hal aneh yang perlahan menjangkiti pikirannya kini. Hal tentang segala perasaan tak biasa yang dirasakannya. Tentang berbagai kesamaan dirinya dengan Chandra.
Maka, sebelum dimatikannya jejaring sosial itu dan berangkat tidur, sebuah kebingungan hati diungkapkannya lewat segurat tulisan pada status jejaring sosialnya.
Serandau terjebak di ngalau/ lilau, mencari jalan/ sayap sobek, badan robek/ menghantam stalaktit hingga lidah tercekcek/ jatuh bangun, kaki menjungkit/ bila cinta tak ada, hidup apalah arti?/.
٭٭٭

            Dan sebagaimana kekhawatiran-kekhawatiran hati yang sempat terbersit hadir dan menghinggapi diri, Suryati semakin sadar bahwa dirinya seolah dibuat terpelanting ke dalam ceruk permainan yang mencandu. Tetapi lagi-lagi kuasanya payah. Semakin hari, simpatinya pada Chandra kian bertumbuh tinggi.
            Berminggu-minggu sudah mereka merangkai cerita manis bersama. Dengan segala kebersamaan yang tampak indah itu, mereka bahkan tak lagi sungkan untuk  saling berbagi kasih dan perhatian, berbagi segelas kopi di atas sebuah meja pada sudut kafe favorit mereka. Dan sungguhpun awal pertemuannya dengan Chandra ketika itu memang dimaksudkan Tuhan sebagai pengalih atas kerisauan hatinya, namun kini Suryati telah benar-benar terlalu jauh melangkahkan hatinya.
            “Bisakah kau menolehkan matamu ke arah hatiku ini, Suryati? Kita serupa! Senasib, sependeritaan! Tak bisakkah sekarang kau lihat kesungguhan di wajahku?” gumam Chandra sambil bertekuk penuh harap di hadapan Suryati, “Aku ingin memberimu bahagia, Suryati.”
            Perempuan itu pucat pasi. Mulutnya bisu. Matanya terbelalak. Pikirannya benar-benar diguncang kebimbangan yang mencangcang. Adalah sebuah dusta yang gila jika ia tak sedikitpun  menaruh rasa pada lelaki tampan yang tengah bertekuk penuh harap di hadapannya sekarang, namun bathinnya juga meronta di sisi yang lain. Ia tak ingin menjadi perempuan munafik yang membunuh cinta. Hati kecilnya tak akan bisa menerima kesalahan fatal seperti itu tersemat di dirinya begitu saja.
            “Sadarkah yang baru saja kau ucap tadi?” ujar Suryati menahan tangis.
            “Masih perlukah kuberdiri dan berteriak lepas sambil mengucap cinta hanya untuk membuatmu yakin, Suryati? Bila itu perlu, aku tak ragu. Saat ini juga kulakukan.”
            Lelaki itu segera merengkuh jemari tangan Suryati. Telapak tangannya sangat hangat. Jelas tersirat, sorot mata mengharap yang tertuju padanya. Suryati semakin kacau. Hati dan pikirannya kini bertarung sengit.
            “Aku ingin pulang..!”
٭٭٭

            Sudah tiga hari perempuan itu mengurung diri di kamar, meringkuk di pojokan tempat tidur kamarnya sambil menyalahkan dirinya sendiri. Rambutnya awut-awutan. Mukanya sedikit pucat. Matanya lebam, tak terhitung berapa kali ia menangis. Tubuhnya begitu lemas.  Sudah beberapa hari ini ia kurang makan, sementara hati dan pikirannya terus dipaksa berpikir keras di setiap detiknya hanya untuk menentukan sebuah pilihan. Pilihan yang tak seorang pun wanita akan berbahagia bila dihadapkan dengannya.
            Telepon genggamnya terus berdering, namun tak sedikitpun perempuan itu menghiraukan. Di layar telepon genggamnya terlihat jelas sederet puluhan pesan masuk yang dikirim oleh Chandra. Semuanya sengaja tak dibaca dan ditanggapinya, hanya dibiarkan begitu saja. Perempuan itu hanya diam, kemudian menghadapkan wajahnya ke arah layar komputer. Di sana, di jejaring sosial itu, ia tumpahkan segala kebingungan hatinya.
            Karma segala karma/ sinuhun menukas kirana dengan cela/ kernyat-kernyut kecubung/ semesta berpeluh angkara murka/ berserak payah gelisah/ susah resah susah/ dinyalakan unggun, gelap/ diberi gula, pahit/ tersisa dilema untuk kumakan sendiri/.
            Benar memang, bahwa segala keluh dan kesah yang terlalu banyak mengendap dalam pikiran ada baiknya tak dibiarkan lama mengerak. Akan terlalu bahaya jika tidak segera ditumpahkan. Namun, di lain sisi, akan selalu ada jiwa lain yang −mau tak mau− ikut menderita atas kejujuran hati yang diungkapkan Suryati. Dialah Chandra.
            Lihatlah ia sekarang, di depan layar komputer lipatnya, selepas melihat keluhan hati Suryati, ia bak Adam yang baru saja dilemparkan Tuhan dari surga-Nya karena terlalu jauh melangkah. Hatinya kalut, hancur berantakan. Maksud hati ingin menghapus lara hati seorang wanita, namun yang didapat olehnya tak ada. Cinta tak dapat, bahagia pun tidak.
            Maka, lewat tuts-tuts keyboardnya, lelaki itu mulai menuliskan sikap hatinya terhadap kegelisahan Suryati.
            Aku mafhum sedari awal, kita ini tak lebih dari jiwa-jiwa yang memiliki cinta di lain sisi bumi. Nestapa aku mendengar kenyataan ini. Pun ketika kutahu engkau ternyata sama sepertiku. Namun, terlalu pongah kiranya jika aku terus menerus mengharapkan hatimu. Kau benar, kita ini telah diikat satu dengan lainnya oleh janji hati. Janji yang tak mengenal jarak. Tak peduli seberapapun jauhnya. Dan karena itu semua, maka lekas kembalikanlah hatimu itu padanya. Wajah dialah yang seharusnya engkau tunggu. Biarlah. Biarlah segala salah dan sakit ini kutanggung, supaya peristiwa ini kelak selalu menjadi nasihat dan renungan atas kesetianku ataupun engkau. Maafkan aku... (Yang telah mengganggu kesetianmu, Chandra).
            Kedua anak manusia itu kemudian saling terdiam di hadapan layar komputernya. Mereka tak lagi bertanya-tanya. Mereka tak lagi mengguratkan tawa. Mereka menangis, menangisi sebuah ketaatan pada kebenaran sekaligus pengkhianatan atas wajah-wajah dari hati mereka yang berjauhan. Mereka kembali kepada kesetiaan. Kesetiaan yang tak pernah mengenal jarak.

Tanah Jawara, 2 Juni 2014


Note: Cerpen "Wajah-wajah yang Berjauhan" merupakan bagian dari Antologi Cerpen berjudul "Danghyang" karya Doni Apriyanto.