Ia berdekap sambil menabur harap, pasrah. Benaknya tak diam,
terus meligat, seolah kembali ingin memukat dalam hasrat yang semakin bulat.
Untuk kesekian bulan, kesekian minggu, kesekian hari, jiwanya merentang lagi
pada dipan lapuk pengungsian, mengusang bersama janji-janji lama.
Setiap hari adalah hutang, begitu bisiknya. Hampir seratus hari
ia ditikam begu Sinabung yang menyelinap ke setiap barak tenda pengungsian.
Pikirannya bahkan semakin gusar lantaran bertubi-tubi gagal memapah asa yang
menggelepar. Ia sudah payah sekarang.
“Ayahanda akan membelikanmu hadiah itu, Ananda. Tunggulah
lusa...”
Kali ini memang berbeda, ucapnya lain dari biasanya. Tak bias
dan kentara jelas. Ia benar-benar akan menebus rengek buah hatinya.
“Jangan memaksakan dirimu, ia masih belia.”
“Aku sudah tak lagi punya wibawa.”
“Lalu kau menginginkan apa?”
“Pinjamkan aku satu juta, dua bulan lagi akan kulunasi.”
Ia perlahan luyut, memanggul tumpukan beban yang semakin
masygul. Langkahnya sukar. Langkahnya seberat cikar. Namun sekarang berbeda,
parasnya tak lagi serupa dengan paras-parasnya yang kemarin. Parasnya sekarang
cerah, berselimut senyum simpul yang cercah.
Setidaknya sekarang ia tahu jika sepeda tua yang sedang
dikayuhnya saat ini akan menghantarkannya pada bahagia yang telah lama
mengendap, bersamaan dengan seikat rupiah yang baru dipinjamnya. Di hadapannya
kini, jejeran kios-kios pasar yang riuh tak lagi membuatnya berkeluh. Dari
balik kerumunan para manusia itu, ia akan segera menebus rengek anaknya,
sebentar lagi.
Untuk Ananda, buah hati
ayahanda yang hanya satu.
Berbulan-bulan sudah kita
mendekam di dalam barak pengungsian, menanti redanya murka Sinabung sembari
menekuri khilaf pada Yang Maha Kuasa. Bersamaan dengan itu, ayahanda memafhumi
jika sudah sedari lama Ananda menampakkan kecewa yang penuh pada ayahanda,
terkhusus perihal hadiah yang dahulu sempat ayahanda janjikan selepas engkau
cakap melafazkan ayat-ayat suci Al-Quran. Sekarang, dalam waktu yang masih
enggan melepas sendu, dimana sendalu selalu bertiup kencang dengan berteman
abu, ayahanda ingin melunaskan janji itu pada Ananda. Tengoklah, sebuah sepeda
berwarna biru muda telah ayahanda persembahkan untukmu. Mudah-mudahan kelak
Ananda tetap berteguh menjadi anak yang sholeh, lurus beribadah dan tak lupa
pada sesama. Aamiin.
Dari Ayahanda yang selalu
menyayangimu.
٭٭٭
Biarlah
Sinabung meraung keras sepanjang hari, biarlah jua harta benda lenyap tertimbun
rebahan pohon yang tunduk pada abu, asalkan jiwanya hidup. Jiwa buah hatinya.
Ia begitu mencinta anak satu-satunya, persis seperti seperti apa yang jua
pernah dilakukan oleh mendiang istrinya beberapa tahun silam.
“Tunggulah
sebentar, ayahanda akan menengok persediaan bantuan di sana. Mudah-mudahan kita
masih bisa dapat makan,” ucapnya lembut sebelum pergi.
Ia kembali
larut dalam nestapa ujian hidup. Tenggelam dalam sapuan ombak manusia yang
lara, padahal matahari sedang begitu teriknya ketika ribuan pengungsi bergumul
untuk mengemis simpati. Karut marut antrean semakin menjadi, semrawut tak
terhindar.
“Saya belum
mendapat makanan, Pak! Berilah satu untuk kami!” sahutnya sembari memelas di
antara himpitan bahu-bahu manusia.
“Bantuan untuk
hari ini sudah habis. Kembalilah besok!”
Wajahnya
seketika memuram. Badannya terhuyung lemah, sementara matanya terus berlinang.
Bagaimanapun juga, selalu ada wajah anaknya yang tengah meringkih kelaparan
dalam ingatannya. Ia lagi-lagi kacau.
Tiada keluh
yang tak bisa meneduh bila kita bersimpuh, ia masih betul-betul meyakini ucapan
itu. Sekarang, ia mulai menundukkan wajahnya di sehamparan terpal yang ia sulap
sebagai sajadah. Ia benar-benar menumpahkan segala kepelikan hidupnya.
Kepada-Mu Yaa Rabb, Sang penggenggam segala
hidup dan maut.
Sampai petang ini, tak sejengkalpun imanku patah arang
mengemis kasih-Mu. Sedari terang surya di ufuk timur berkilatan, hingga purnama
merona di gelapnya malam, sujudku masih terus terarah pada-Mu. Wahai Dzat yang
bersemayam di Arasy,
Engkau adalah segala jawab
atas pinta, kursi-Mu laksana kekuatan sasa di atas segala tandusnya asa,
bilakah Engkau beri hamba sedikit bahagia?
Rabb, Engkau tahu kulit tubuhku sudah habis terbakar
disengat tajamnya surya, sementara dahagaku masih tergantung di antara kering
kerongkongan dan bibir yang pecah-pecah, sudikah Engkau menaruh kasih meski
sebentar? Berbulan-bulan sudah anakku dibayangi lapar dan putus asa, sementara
istriku telah lebih dahulu Engkau renggut umurnya, tidakkah Engkau bermurah
hati memberi kami asa? Aku bersimpuh, sungguh, jikalau bukan pada-Mu, pada
siapa lagi kami harus meminta?
٭٭٭
Ia memahami
wahyu Tuhan. Ia mafhum bahwa darah dagingnya adalah titipan-Nya. Karenanya,
segala hal terkait keberlangsungan hidup yang menjadi hak atas titipan-Nya,
adalah sebuah harus yang pasti. Dan meski sebagai gantinya ia berangsur payah
memikul beban, tak sedikitpun tekadnya surut. Ia betul-betul sudah tak memiliki
pilihan lagi.
“Ini sudah
kedua kalinya, dan kau masih belum membayar sepeser pun.”
“Aku fakir
sekarang. Sungguh. Kau tahu? Kalau saja puncak Sinabung tak lagi mengepul, aku
pasti sudah melunasi semuanya!”
“Lalu bagaimana
bisa aku mempercayaimu sekarang?!”
“Aku masih
memiliki sepasang cincin emas yang kusimpan di dalam kotak lemari pakaian. Itu
cincin kawin peninggalan istriku. Kalau memungkinkan, lusa aku akan
mengambilnya ke sana! Sungguh!”
Ia kembali
datang pada buah hatinya dengan menjinjing beberapa kardus mie instan dan
seplastik makanan. Tergambar senyum sumringah yang mengembang pada raut wajah
anaknya manakala mereka saling bertatapan. Setidaknya untuk hari ini perut
anaknya akan aman. Ia tersungkur, menahan tangis.
Dalam
waktu-waktu sulit seperti ini, perasaan rindu itu memang akan semakin
menyiksanya. Dan kenangan akan kehangatan welas asih istrinya merupakan hal
lain yang membuatnya sukar untuk menghindar. Ia betul-betul mengharapkan
kehadiran istrinya. Maka, dari atas dipan kayu pengungsian itu kembali ia
rebahkan tubuhnya yang sudah begitu lunglai, sambil menyelami satu demi satu
cerita lalu yang membuatnya semakin tenggelam dalam pilu.
Kepada istriku yang dengan tiada ragu aku padanya
merindu.
Sayang, satu lustrum, enam bulan, lima belas hari, aku
masih menyimpan paras teduhmu di saku ingatanku. Dan nasi hangat yang kau tanak
di atas tungku ketika itu, sedikitpun rasanya tak pernah kabur dari ujung
lidahku. Apa kau juga masih mengenal kenangan hari itu? Sayang, sungguh, meski
derit lemari pakaian memenuhi setiap ceruk telinga di malam panjangku, rinduku
masih.
Sayang, anakmu, anak kita, darah daging yang bersamayam
sembilan bulan dalam rahimmu, ia laksana wahah pada sehamparan gurun. Kuajari
ia shalat dan mengaji sedari dini, seperti inginmu waktu itu. Sekarang
lihatlah, ia sudah mampu berlari kencang di atas tanah lapang. Sayang, kapan
kita akan duduk bersama lagi sambil membicarakan cinta?
٭٭٭
Baru saja
seruan azan shubuh berlalu. Fajar nampak perlahan, bersamaan dengan mega yang
berarak pergi ke arah selatan. Masih belum terlihat ramai pada sekumpulan
barak-barak pengungsian, karena halimun pagi masih belum benar-benar lenyap
dari pandang. Namun saat itu ia telah duduk menukuk di depan tenda pengungsian.
Seorang diri, sambil menghadapkan wajahnya yang masih tampak redup.
Di sana ia
terdiam cukup lama, menanti kiranya langit pagi yang cerah segera hadir di
hadapan. Benaknya terus berharap-harap cemas. Bagaimanapun juga, apa yang akan
diperbuatnya sekarang adalah sesuatu yang gila.
“Ayahanda akan
benar-benar pergi seorang diri?” Anaknya menyiratkan wajah kekhawatiran yang
begitu besar.
“Iya, ayahanda
harus pergi, Nak. Kau tahu, hutang ayah pada rentenir itu sudah kadung besar.
Tak sanggup ayah jika terus menerus bermasalah seperti waktu lalu.”
“Lalu
bagaimana denganku, Yah?”
“Kau tetaplah
di pengungsian. Do’akan ayahmu, mudah-mudahan tak terjadi apa-apa.”
Laki-laki itu
perlahan pergi sambil membawa seikat bekal yang telah ia selipkan dalam tas
yang tergantung di pundaknya. Kakinya begitu mantap terus melangkah lurus ke
arah hutan belukar. Tubuhnya kemudian menirus, hilang di balik halimun yang
pekat.
٭٭٭
Sudah berjam-jam ia berputar di
sekeliling kumpulan abu yang tampak sama. Matanya masih terus menyalang,
mencari-cari dimana letak persis rumah yang dahulu ia tinggali. Tak lama,
tubuhnya segera tertuju pada sebuah bangunan kecil yang tanggung. Dindingnya
tampak retak-retak setelah dihempas bebatuan muntahan Sinabung, sementara
atapnya hampir menyentuh tanah lantaran terus menerus dihujani berkubik-kubik
abu.
Melihat bangunan itu, wajahnya
seketika berubah terang. Benaknya seolah berdecak yakin kalau bangunan yang ada
di hadapannya sekarang adalah rumahnya yang dahulu. Ia segera menerobos
reruntuhan palang pintu kayu itu.
Dan di dalam bangunan kecil yang
tanggung itu, ia kembali hampir melelang nyawanya. Berkali-kali ia terkesiap
oleh jatuhan atap rumah yang telah payah ditimbun abu, nyaris saja menghantam
tempurung kepalanya kalau ia tidak cekatan. Belum lagi udara pengap di ruangan
penuh abu itu, jelas memaksanya bekerja keras untuk bisa bernapas agar nasibnya
tak serupa dengan pepohonan yang ranggas di kaki Sinabung. Kebulatan tekadnya
memang sungguh keras.
٭٭٭
Ia masih terus menerka-nerka
tumpukan abu di dalam rumah itu. Sudah cukup lama ia tertahan di sana,
mencari-cari kotak berisi cincin peninggalan mendiang istrinya. Hampir puluhan
kali ia mengeruk timbunan abu dengan jari tangannya, namun masih nihil. Padahal di luar abu kembali turun perlahan,
sedangkan langit hampir menunjukkan warna jingganya. Sekarang ia betul-betul
tertekan. Hari sudah mendekati petang.
Dan tiba-tiba saja kekhawatiran
hatinya tersedak. Gemuruh suara keras sekonyong-konyong terdengar begitu jelas
di telinganya. Suara itu laksana
dentuman meriam-meriam perang di angkasa. Ia benar-benar terhentak hebat.
Ditengoknya segera suara gemuruh itu dari luar reruntuhan rumah, kemudian
wajahnya seketika menjadi pucat pasi.
Kepada
engkau yang tanpa permisi pergi, istriku.
Sayang,
tak pernah dalam hidup aku merasa segentar ini, meski takdirku muskil ditawar
lagi. Gegap lisanku pasti, bersendiri memandangi riuh kepulan Sinabung saat
ini, percayakah kau? Tengoklah, di hadapanku kini sapuan asap pekat perlahan
turun mendekat, sementara di belakangku kosong. Seolah tanda tanya masih
memagut dalam pigura cahaya yang enggan berpendar, cahaya buah hati kita.
Sayang,
kalaupun Izrail benar-benar hendak bertandang, sungguh, ikhlasku tetap. Namun
apatah arti senandung bilamana kicau burung kuak masih menguak pedih?
Bermil-mil jarak yang kudaki, hutan belukar yang kulewati, berkubik abu yang
penuh sesak memengapi napas, percumakah itu semua? Sayang, kalaulah aku harus
tetap menghadap-Nya, maukah engkau memohonkan kasih-Nya untuk anak kita?
Sungguh, napasku sudah semakin berat, sedang kepulan asap semakin dekat.
Sayang, ajari aku agar tak takut berjumpa maut...
Sapuan asap pekat itu datang
menghampirinya. Bergemuruh, membawa pedih dan perih. Laki-laki itu terus
menjejalkan kakinya dalam-dalam ke atas tanah berabu, sementara kepulan asap
terus membuatnya meregang. Iya semakin payah. Ia menyerah pada segurat suratan
resah. Resah ihwal nasib anaknya sepeninggalnya. Tetapi Tuhan tetaplah
sebaik-baik perencana atas segala hidup manusia.
-Tanah Jawara, Maret 2014-
Note: Cerpen "Rungkup Bidai Abu" adalah salah satu judul cerpen dalam buku Antologi Cerpen "Danghyang" (2014)