Wednesday, May 15, 2019

Rungkup Bidai Abu (Oleh: D. Apriyanto)





Ia berdekap sambil menabur harap, pasrah. Benaknya tak diam, terus meligat, seolah kembali ingin memukat dalam hasrat yang semakin bulat. Untuk kesekian bulan, kesekian minggu, kesekian hari, jiwanya merentang lagi pada dipan lapuk pengungsian, mengusang bersama janji-janji lama.
Setiap hari adalah hutang, begitu bisiknya. Hampir seratus hari ia ditikam begu Sinabung yang menyelinap ke setiap barak tenda pengungsian. Pikirannya bahkan semakin gusar lantaran bertubi-tubi gagal memapah asa yang menggelepar. Ia sudah payah sekarang.
“Ayahanda akan membelikanmu hadiah itu, Ananda. Tunggulah lusa...”
Kali ini memang berbeda, ucapnya lain dari biasanya. Tak bias dan kentara jelas. Ia benar-benar akan menebus rengek buah hatinya.
“Jangan memaksakan dirimu, ia masih belia.”
“Aku sudah tak lagi punya wibawa.”
“Lalu kau menginginkan apa?”
“Pinjamkan aku satu juta, dua bulan lagi akan kulunasi.”
Ia perlahan luyut, memanggul tumpukan beban yang semakin masygul. Langkahnya sukar. Langkahnya seberat cikar. Namun sekarang berbeda, parasnya tak lagi serupa dengan paras-parasnya yang kemarin. Parasnya sekarang cerah, berselimut senyum simpul yang cercah.
Setidaknya sekarang ia tahu jika sepeda tua yang sedang dikayuhnya saat ini akan menghantarkannya pada bahagia yang telah lama mengendap, bersamaan dengan seikat rupiah yang baru dipinjamnya. Di hadapannya kini, jejeran kios-kios pasar yang riuh tak lagi membuatnya berkeluh. Dari balik kerumunan para manusia itu, ia akan segera menebus rengek anaknya, sebentar lagi.
Untuk Ananda, buah hati ayahanda yang hanya satu.
Berbulan-bulan sudah kita mendekam di dalam barak pengungsian, menanti redanya murka Sinabung sembari menekuri khilaf pada Yang Maha Kuasa. Bersamaan dengan itu, ayahanda memafhumi jika sudah sedari lama Ananda menampakkan kecewa yang penuh pada ayahanda, terkhusus perihal hadiah yang dahulu sempat ayahanda janjikan selepas engkau cakap melafazkan ayat-ayat suci Al-Quran. Sekarang, dalam waktu yang masih enggan melepas sendu, dimana sendalu selalu bertiup kencang dengan berteman abu, ayahanda ingin melunaskan janji itu pada Ananda. Tengoklah, sebuah sepeda berwarna biru muda telah ayahanda persembahkan untukmu. Mudah-mudahan kelak Ananda tetap berteguh menjadi anak yang sholeh, lurus beribadah dan tak lupa pada sesama. Aamiin.
Dari Ayahanda yang selalu menyayangimu.
٭٭٭

            Biarlah Sinabung meraung keras sepanjang hari, biarlah jua harta benda lenyap tertimbun rebahan pohon yang tunduk pada abu, asalkan jiwanya hidup. Jiwa buah hatinya. Ia begitu mencinta anak satu-satunya, persis seperti seperti apa yang jua pernah dilakukan oleh mendiang istrinya beberapa tahun silam.
            “Tunggulah sebentar, ayahanda akan menengok persediaan bantuan di sana. Mudah-mudahan kita masih bisa dapat makan,” ucapnya lembut sebelum pergi.
            Ia kembali larut dalam nestapa ujian hidup. Tenggelam dalam sapuan ombak manusia yang lara, padahal matahari sedang begitu teriknya ketika ribuan pengungsi bergumul untuk mengemis simpati. Karut marut antrean semakin menjadi, semrawut tak terhindar.
            “Saya belum mendapat makanan, Pak! Berilah satu untuk kami!” sahutnya sembari memelas di antara himpitan bahu-bahu manusia.
            “Bantuan untuk hari ini sudah habis. Kembalilah besok!”
            Wajahnya seketika memuram. Badannya terhuyung lemah, sementara matanya terus berlinang. Bagaimanapun juga, selalu ada wajah anaknya yang tengah meringkih kelaparan dalam ingatannya. Ia lagi-lagi kacau.
            Tiada keluh yang tak bisa meneduh bila kita bersimpuh, ia masih betul-betul meyakini ucapan itu. Sekarang, ia mulai menundukkan wajahnya di sehamparan terpal yang ia sulap sebagai sajadah. Ia benar-benar menumpahkan segala kepelikan hidupnya.
            Kepada-Mu Yaa Rabb, Sang penggenggam segala hidup dan maut.
            Sampai petang ini, tak sejengkalpun imanku patah arang mengemis kasih-Mu. Sedari terang surya di ufuk timur berkilatan, hingga purnama merona di gelapnya malam, sujudku masih terus terarah pada-Mu. Wahai Dzat yang bersemayam di Arasy,
Engkau adalah segala jawab atas pinta, kursi-Mu laksana kekuatan sasa di atas segala tandusnya asa, bilakah Engkau beri hamba sedikit bahagia?
            Rabb, Engkau tahu kulit tubuhku sudah habis terbakar disengat tajamnya surya, sementara dahagaku masih tergantung di antara kering kerongkongan dan bibir yang pecah-pecah, sudikah Engkau menaruh kasih meski sebentar? Berbulan-bulan sudah anakku dibayangi lapar dan putus asa, sementara istriku telah lebih dahulu Engkau renggut umurnya, tidakkah Engkau bermurah hati memberi kami asa? Aku bersimpuh, sungguh, jikalau bukan pada-Mu, pada siapa lagi kami harus meminta?
٭٭٭

            Ia memahami wahyu Tuhan. Ia mafhum bahwa darah dagingnya adalah titipan-Nya. Karenanya, segala hal terkait keberlangsungan hidup yang menjadi hak atas titipan-Nya, adalah sebuah harus yang pasti. Dan meski sebagai gantinya ia berangsur payah memikul beban, tak sedikitpun tekadnya surut. Ia betul-betul sudah tak memiliki pilihan lagi.
            “Ini sudah kedua kalinya, dan kau masih belum membayar sepeser pun.”
            “Aku fakir sekarang. Sungguh. Kau tahu? Kalau saja puncak Sinabung tak lagi mengepul, aku pasti sudah melunasi semuanya!”
            “Lalu bagaimana bisa aku mempercayaimu sekarang?!”
            “Aku masih memiliki sepasang cincin emas yang kusimpan di dalam kotak lemari pakaian. Itu cincin kawin peninggalan istriku. Kalau memungkinkan, lusa aku akan mengambilnya ke sana! Sungguh!”
            Ia kembali datang pada buah hatinya dengan menjinjing beberapa kardus mie instan dan seplastik makanan. Tergambar senyum sumringah yang mengembang pada raut wajah anaknya manakala mereka saling bertatapan. Setidaknya untuk hari ini perut anaknya akan aman. Ia tersungkur, menahan tangis.
            Dalam waktu-waktu sulit seperti ini, perasaan rindu itu memang akan semakin menyiksanya. Dan kenangan akan kehangatan welas asih istrinya merupakan hal lain yang membuatnya sukar untuk menghindar. Ia betul-betul mengharapkan kehadiran istrinya. Maka, dari atas dipan kayu pengungsian itu kembali ia rebahkan tubuhnya yang sudah begitu lunglai, sambil menyelami satu demi satu cerita lalu yang membuatnya semakin tenggelam dalam pilu.
            Kepada istriku yang dengan tiada ragu aku padanya merindu.
            Sayang, satu lustrum, enam bulan, lima belas hari, aku masih menyimpan paras teduhmu di saku ingatanku. Dan nasi hangat yang kau tanak di atas tungku ketika itu, sedikitpun rasanya tak pernah kabur dari ujung lidahku. Apa kau juga masih mengenal kenangan hari itu? Sayang, sungguh, meski derit lemari pakaian memenuhi setiap ceruk telinga di malam panjangku, rinduku masih.
            Sayang, anakmu, anak kita, darah daging yang bersamayam sembilan bulan dalam rahimmu, ia laksana wahah pada sehamparan gurun. Kuajari ia shalat dan mengaji sedari dini, seperti inginmu waktu itu. Sekarang lihatlah, ia sudah mampu berlari kencang di atas tanah lapang. Sayang, kapan kita akan duduk bersama lagi sambil membicarakan cinta? 
٭٭٭

            Baru saja seruan azan shubuh berlalu. Fajar nampak perlahan, bersamaan dengan mega yang berarak pergi ke arah selatan. Masih belum terlihat ramai pada sekumpulan barak-barak pengungsian, karena halimun pagi masih belum benar-benar lenyap dari pandang. Namun saat itu ia telah duduk menukuk di depan tenda pengungsian. Seorang diri, sambil menghadapkan wajahnya yang masih tampak redup.
            Di sana ia terdiam cukup lama, menanti kiranya langit pagi yang cerah segera hadir di hadapan. Benaknya terus berharap-harap cemas. Bagaimanapun juga, apa yang akan diperbuatnya sekarang adalah sesuatu yang gila.
            “Ayahanda akan benar-benar pergi seorang diri?” Anaknya menyiratkan wajah kekhawatiran yang begitu besar.
            “Iya, ayahanda harus pergi, Nak. Kau tahu, hutang ayah pada rentenir itu sudah kadung besar. Tak sanggup ayah jika terus menerus bermasalah seperti waktu lalu.”
                        “Lalu bagaimana denganku, Yah?”
            “Kau tetaplah di pengungsian. Do’akan ayahmu, mudah-mudahan tak terjadi apa-apa.”
            Laki-laki itu perlahan pergi sambil membawa seikat bekal yang telah ia selipkan dalam tas yang tergantung di pundaknya. Kakinya begitu mantap terus melangkah lurus ke arah hutan belukar. Tubuhnya kemudian menirus, hilang di balik halimun yang pekat.
٭٭٭

            Sudah berjam-jam ia berputar di sekeliling kumpulan abu yang tampak sama. Matanya masih terus menyalang, mencari-cari dimana letak persis rumah yang dahulu ia tinggali. Tak lama, tubuhnya segera tertuju pada sebuah bangunan kecil yang tanggung. Dindingnya tampak retak-retak setelah dihempas bebatuan muntahan Sinabung, sementara atapnya hampir menyentuh tanah lantaran terus menerus dihujani berkubik-kubik abu.
            Melihat bangunan itu, wajahnya seketika berubah terang. Benaknya seolah berdecak yakin kalau bangunan yang ada di hadapannya sekarang adalah rumahnya yang dahulu. Ia segera menerobos reruntuhan palang pintu kayu itu.
            Dan di dalam bangunan kecil yang tanggung itu, ia kembali hampir melelang nyawanya. Berkali-kali ia terkesiap oleh jatuhan atap rumah yang telah payah ditimbun abu, nyaris saja menghantam tempurung kepalanya kalau ia tidak cekatan. Belum lagi udara pengap di ruangan penuh abu itu, jelas memaksanya bekerja keras untuk bisa bernapas agar nasibnya tak serupa dengan pepohonan yang ranggas di kaki Sinabung. Kebulatan tekadnya memang sungguh keras.
٭٭٭

            Ia masih terus menerka-nerka tumpukan abu di dalam rumah itu. Sudah cukup lama ia tertahan di sana, mencari-cari kotak berisi cincin peninggalan mendiang istrinya. Hampir puluhan kali ia mengeruk timbunan abu dengan jari tangannya, namun masih nihil.  Padahal di luar abu kembali turun perlahan, sedangkan langit hampir menunjukkan warna jingganya. Sekarang ia betul-betul tertekan. Hari sudah mendekati petang.
            Dan tiba-tiba saja kekhawatiran hatinya tersedak. Gemuruh suara keras sekonyong-konyong terdengar begitu jelas di telinganya.  Suara itu laksana dentuman meriam-meriam perang di angkasa. Ia benar-benar terhentak hebat. Ditengoknya segera suara gemuruh itu dari luar reruntuhan rumah, kemudian wajahnya seketika menjadi pucat pasi.
            Kepada engkau yang tanpa permisi pergi, istriku.
            Sayang, tak pernah dalam hidup aku merasa segentar ini, meski takdirku muskil ditawar lagi. Gegap lisanku pasti, bersendiri memandangi riuh kepulan Sinabung saat ini, percayakah kau? Tengoklah, di hadapanku kini sapuan asap pekat perlahan turun mendekat, sementara di belakangku kosong. Seolah tanda tanya masih memagut dalam pigura cahaya yang enggan berpendar, cahaya buah hati kita.
            Sayang, kalaupun Izrail benar-benar hendak bertandang, sungguh, ikhlasku tetap. Namun apatah arti senandung bilamana kicau burung kuak masih menguak pedih? Bermil-mil jarak yang kudaki, hutan belukar yang kulewati, berkubik abu yang penuh sesak memengapi napas, percumakah itu semua? Sayang, kalaulah aku harus tetap menghadap-Nya, maukah engkau memohonkan kasih-Nya untuk anak kita? Sungguh, napasku sudah semakin berat, sedang kepulan asap semakin dekat. Sayang, ajari aku agar tak takut berjumpa maut...
            Sapuan asap pekat itu datang menghampirinya. Bergemuruh, membawa pedih dan perih. Laki-laki itu terus menjejalkan kakinya dalam-dalam ke atas tanah berabu, sementara kepulan asap terus membuatnya meregang. Iya semakin payah. Ia menyerah pada segurat suratan resah. Resah ihwal nasib anaknya sepeninggalnya. Tetapi Tuhan tetaplah sebaik-baik perencana atas segala hidup manusia.

-Tanah Jawara,  Maret 2014-

Note: Cerpen "Rungkup Bidai Abu" adalah salah satu judul cerpen dalam buku Antologi Cerpen "Danghyang" (2014) 


Monday, May 13, 2019

Laki-Laki Langka (Oleh: D. Apriyanto)





          Dan ketika semua pertautan hidup bergumal dalam satu titik jenuh yang kekecewaannya terkesan unlimited, dalam jiwa di mana bathin ini selalu terenguh, aku selalu beranggapan bahwa segala kesemerawutan mimpi hidup yang terlanjur beringsut ini adalah hal yang seharusnya ku syukuri dengan tanpa sedikitpun kecewa. Tanpa jiwa besar untuk bersyukur seperti itu, maka aku belumlah dapat dikatakan sebagai laki-laki yang sebenarnya. Itulah wejangan yang biasa diucapkan Emak manakala aku tengah kecewa dengan keterpurukan mimpi.
          Aku sendiri sebenarnya tidak mengerti mengapa aku bisa terdampar di sebuah kampus kecil yang tak populer seperti ini, karena aku masih ingat betul bahwa mimpiku kala itu adalah bisa menjadi seorang mahasiswa di salah satu perguruan tinggi ternama di Indonesia. Bukan di sini, di sebuah Fakultas Keguruan pada kampus kecil di pelosok daerah ini. Realita ini tentu menyakitkan, terlebih ketika para sahabat di kampungku mengetahui bahwa aku tak lebih baik dari mereka. 
          Asal Kawan tahu, banyak dari anak-anak muda seusiaku di kampung yang diterima di sejumlah perguruan tinggi ternama di Indonesia. Fahri, teman bermain bola di kampungku, bahkan diterima di Fakultas Kedokteran UGM (Universitas Gajah Mada)! Gila, bukan? Aku jelas tidak terima, padahal sejak dahulu aku ini lebih pintar darinya. Untuk urusan kejar mengejar peringkat di kelas saja, aku jelaslah yang lebih sering masuk di peringkat tiga besar. Sementara ia, hanya bertengger di sepuluh besar. Untuk alasan ini saja, aku jelas-jelas lebih unggul.  Namun lagi-lagi, takdir memang terlalu sulit disandingkan dengan akal sehat. Ya, seperti nasibku sekarang ini. Menyedihkan.
⌘⌘⌘

Kesedihanku sebenarnya cukup terobati manakala aku dapat diperkenalkan dengan kedua sahabat luar biasa di masa-masa keterpukulan seperti sekarang ini. Tak dapat kupungkiri besarnya peran kedua lelaki gila ini dalam mempengaruhiku menjadi seseorang penggila akan obsesi dan mimpi.
Yang pertama bernama Ozi. Badannya lumayan tinggi. Matanya sedikit sipit. Dari segi kecenderungan, sahabatku yang satu ini bisa ku kategorikan dalam makhluk-makhluk penyuka lomba dan penggila beasiswa. Asal Kawan tahu saja, kecenderungannya terhadap hal-hal berbau beasiswa dan lomba tak tertandingi. Satu hal yang unik dari dirinya, yakni bagaimana ekspresi wajah antusias yang dimilikinya apabila bercerita kepadaku tentang hal-hal berbau beasiswa. Matanya seketika berubah menjadi bulat. Telinganya mengembang. Dan Alisnya berkedut-kedut.
Itulah Ozi, sahabatku yang begitu gila akan beasiswa. Dengan antusiasnya ini, meski tidak diimbangi otak yang jenius, Ozi jelas bisa ditasbihkan sebagai seorang mahasiswa yang gigih. Bak gigihnya pejuang-pejuang kekaisaran Roma yang tak takut mati.
Sahabatku yang satu lagi bernama Afit. Dari kecenderungannya, ia bisa ku kategorikan sebagai lelaki pendiam yang jenius. Bagiku, dia tak ubahnya pembunuh berdarah dingin. Jika Kawan menemui penjahat semisal Al Capone atau Jack The Ripper dalam tulisan Sir Arthur Conan Doyle, tentulah sahabatku ini bisa kukatakan lebih hebat dari keduanya. Otak encernya −yang biasa dengan mudah melumat soal-soal trigonometri atau teori-teori tingkat tinggi milik Isac Newton− jelas tidak bisa dianggap remeh. Karena kejeniusannya itu pula ia dijadikan sebagai asisten laboratorium oleh Ibu Lili.
Celakanya lagi, ia tidak hanya jenius di hal-hal akademis semata, namun juga di hal-hal remeh temeh semisal pertandingan sepak bola PS 2 (Playstation 2). Dengan segala kelebihannya itu, maka tidak jarang aku dan Ozi dibuatnya seolah bak  pecundang, karena kami selalu kalah ketika bersaing dengan mahasiswa jenius yang satu ini. Khususnya dalam permainan PS 2.
⌘⌘⌘

“Ayolah Do, ikutlah gabung dalam kelompokku. Aku yakin, kita akan mampu mendapatkan beasiswa serta kesempatan ke luar negeri dari ajang Call for Paper  itu nanti. Percayalah, Kawan.”
Penyakit mingguan Ozi kembali kambuh. Kali ini, tiga jam sudah ia habiskan untuk memandangi wajahku sembari memasang muka kasihan. Ya, semata-mata agar aku mengasihaninya dan mau ikut bergabung bersama kelompok pemburu beasiswanya itu.
“Ah, tak mau aku Zi. Kau ingat bukan? Terakhir kali aku ikut serta masuk kelompokmu, aku sudah kehabisan banyak uang untuk print makalah. Tapi, hasilnya malah nol. Merugi aku Sob!” Aku mengelak tegas.
“Ini untukmu, Do. Gratiiis!”
Tangannya menjulurkan sebatang cokelat mahal ke arahku. Memangnya aku akan tertipu lagi olehmu? Tidak akan! Kawan, asal kalian tahu saja, ini adalah trik amatiran ala sahabatku –Ozi. Beberapa waktu yang lalu, dia pernah beberapa kali menggunakan trik ini untuk memikatku. Dan bodohnya, aku masuk dalam perangkapnya. Maka jadilah saat itu aku anak buah misi pencarian beasiswanya. Seharian aku diajak berputar-putar di kampus, hanya untuk menjalani sederetan alur birokrasi yang membuat kepala mau pecah. Berkaca pada pengalaman itu, aku tidak akan mau lagi masuk dalam lubang perangkap bodoh untuk kedua kalinya. Tidak akan!
“Zi, kenapa tak kau coba ajak Afit saja?”
Mataku langsung melirik ke arah Afit yang tengah duduk tenang di pojok kamar kos sambil melumat sebuah buku tebal ilmu statistik. Mendengar ucapanku barusan, sekonyong-konyong Afit langsung merubah tatap matanya. Alisnya seketika menukik tajam. Sorot matanya buas, bak serigala kelaparan. Nyaliku langsung ciut. Lekas-lekas kuluruskan ucapanku barusan, “Ya, itu sih kalau kau tak keberatan, Fit.”
⌘⌘⌘

         Dan sebagaimana Tuhan Yang Maha Pendengar akan rintihan hambanya yang begitu khidmat mengadu keluh kesah, maka do’a - do’a yang dilantunkan Ozi kali ini, pada hari di mana tidak ada satupun sahabat sependeritaannya yang mau ikut serta bergabung dalam kelompoknya, semuanya seakan tak terbantahkan oleh nalar manusia. Ya, semuanya berputar seratus delapan puluh derajat hari ini!
         “Jadi bagaimana, Ido? Afit? Kalian mau turuti permintaan Ibu?”
         Bu Leli, dosen ternama yang begitu kami hormati di jurusan ini, memandang wajahku dan Afit dengan begitu penuh keseriusan. Jantung kami berhenti berdetak se-persekian detik. Bagaimana tidak, hari ini mata kami dipaksa terbelalak dengan suatu pemahaman sederhana bahwa impossible is nothing! Dia, sahabatku yang selama ini kuanggap bodoh lantaran hanya bermodalkan kegigihan semata, nyatanya hari ini dapat membuatku bertekuk lutut menuruti kehendak gilanya. Bukan cuma itu, tetapi ia juga mampu membuat seorang jenius seperti Afit menuruti kehendaknya. Harus kuakui, ide Ozi untuk memasukan kami ke dalam kelompoknya dengan sedikit melibatkan bantuan Bu Leli sangatlah cerdas.
         Pada akhirnya, atas dasar rasa terpaksa dan penuh keterdesakan, aku dan Afit menerimanya, “Baik Bu, kami akan masuk kelompok Ozi.”
⌘⌘⌘

         Ini adalah mimpi buruk. Bahkan jika dibandingkan dengan tugas penyelesaian sekumpulan soal kalkulus yang ditambah setumpuk pertanyaan perihal genetika dari klasifikasi insecta sekalipun, ini jelas lebih buruk! Siapa pun jelas tidak akan ada yang mau sekelompok dalam pasukan misi Call for Paper bersama Ozi. Bagiku, misi seperti ini sudah tidak ada bedanya dengan Misi Impossible.  Lihatlah, aku dan Afit saja terkapar lemas di dalam kamar kos sembari meratapi nasib kami yang teramat buruk. Nasibku sedang sial hari ini.
         Di hadapan kami, duduk Ozi dengan gagahnya. Wajahnya senyam-senyum aneh sejak tadi. Entahlah, tapi sepertinya hatinya terbahak-bahak puas ketika mendapati kami menyerah dan masuk dalam kelompoknya. Beberapa kali ia berusaha menguatkan hati kami agar tidak perlu bersedih.
         “Sob, tak usah diambil hati lah. Percaya saja denganku. Nanti, kita akan bisa pergi ke luar negeri dengan ajang Call for Paper ini. Naik pesawat, Sob!”
         Seenaknya saja ia berkata begitu. Jelas, dalam hal ini, aku dan Afit-lah yang akan direpotkan nanti. Tapi, apa boleh buat. Nasi sudah menjadi bubur. Maka kami bersegera merancang ide serta persiapan untuk menyusun sebuah makalah agar dapat diikutsertakan dalam ajang Call for Paper.
⌘⌘⌘

         “Sob! Gagasan kita lolos!!” Ozi berlari kencang sambil melompat ke arah Afit. Aku tercengang hebat. Sungguh, ini adalah hal terabsurd yang sulit diterima oleh akal sehatku. Otakku masih sulit mencerna ucapan Ozi. Maka, untuk kembali memastikannya, kutanyakan kepadanya sekali lagi.
         “Zi, kemari sebentar! Bisa kau ulangi sekali lagi?” tanyaku ragu.
         “Kita LOLOS!! LOLOS Do!”
         Kami bertiga langsung meloncat kegirangan. Kami tenggelam dalam euforia bahagia yang sejadi-jadinya. Saat itu, bahkan belum pernah kulihat Si Pendiam Afit yang begitu riangnya melompat. Namun, tiba-tiba Ozi berhenti dan memotong keceriaan kami.
         “Tunggu dulu. Teman, sebenarnya ada hal yang masih belum aku jelaskan kepada kalian...”
         “Apa itu, Zi? Kau bicara saja lah, Teman,” ucapku bingung.
         “Untuk biaya pergi ke Taiwan nanti, itu sebenarnya merupakan tanggungan masing-masing kelompok peserta.”
         “Apa??” Aku dan Afit terkaget-kaget.
         Inilah yang disebut terlepas dari kandang anjing, masuk ke kandang harimau. Jelas, biaya transportasi seperti itu sangatlah tidak masuk akal bagi mahasiswa pas-pasan seperti kami.
         “Kita cari ajukan pengajuan dana ke Kampus saja, Kawan,” sahut Afit.
⌘⌘⌘

          “Bagaimana, Fit? Kau sudah siap?” tanyaku sedikit tegang.         
          “Tenang, tak usah khawatir. Serahkan saja semuanya padaku. Ingat, kau hanya perlu fokus pada slide power point yang sudah kita rancang, Teman.”
          Gila. Afit masih dengan santainya melempar senyum ke arahku. Ini memang sulit dipercaya. Padahal, di hadapan kami sudah duduk para petinggi kampus maupun pihak perwakilan sponsor yang akan membiayai project kami. Namun, tak sedikitpun nyalinya ciut. Afit memang seorang jenius berdarah dingin. Kentara sekali dari tiap langkah kakinya yang begitu tenang dan pasti berjalan ke arah meja presentasi itu.
          Jujur saja, tubuhku begitu gemetaran saat ini. Bagaimanapun juga, ini adalah kesempatan terakhir kami untuk mengajukan proposal pengajuan dana pembiayaan pergi ke Taiwan. Jika presentasi kali ini gagal, maka aku tidak tahu apa yang akan menimpa Ozi nanti. Lihat saja ia, duduk merunduk di meja belakang para hadirin presentasi. Katanya, ia tak punya cukup nyali untuk maju menemani aku dan Afit presentasi di depan para petinggi kampus ini.
          Presentasi dimulai. Afit segera mempresentasikan materi kami. Mulutnya seperti begitu fasih melafalkan point demi point yang kami rangkum semalaman itu.
          “Seberapa penting keuntungan yang kami dapatkan nanti? Mengapa kami harus membiayai kalian untuk pergi ke Taiwan?”
          Salah seorang hadirin dari perwkilan pejabat kampus mulai menguji kami melalui sejumlah pertanyaan. Jantungku semakin berdegup kencang. Keringat mulai menjulur di sekujur badan. Namun Afit masih kelihatan tenang. Ia menarik nafas panjangnya dalam-dalam. Ia kemudian menginstruksikanku untuk kembali memutar slide sebelumnya. Kejeniusannya mulai bekerja. Ya, Afit langsung mengaplikasikan teori-teori jitu milik Robert Gordman untuk menarik hati para penguji itu. Semua hadirin tercengang dengan penjelasan yang disampaikan oleh Afit. Mereka saling pandang dan berbisik-bisik satu dengan lainnya. Entahlah, tapi aku mulai ragu. Aku takut tanggapan yang diberikan oleh pihak penguji adalah negatif.
          Dan setelah beberapa menit perundingan pelik, salah seorang penguji berdiri mendekati Afit. “Selamat, presentasi kalian mengagumkan. Kami akan membiayai perjalanan kalian ke Taiwan.”
          Aku terhentak. Air mata tak lagi mampu terbendung hingga seketika jatuh membasahi pipi. Semuanya saling berpelukan. Haru dan tawa bahagia pecah saat itu. Dan kala itu, seketika aku baru menyadari, bahwa Ozi dan Afit mungkin sengaja dikirimkan oleh Tuhan kepadaku, semata-mata agar aku tak lagi gundah seperti yang dikeluhkan Emak saat itu. Terimakasih, Teman. Kalian adalah sahabat luar biasa dalam hidupku. Kalian adalah laki-laki langka dalam yang ada di kehidupanku.
⌘⌘⌘
         
          Tak berubah. Secangkir kopi arabica yang tersaji di atas meja kayu, dentingan jarum jam dinding kantor yang bertik-tok sepanjang waktu, atau posisi bolpoin biru yang tergeletak di atas buku. Semuanya masih sama. Tidak berubah sedikitpun. Pria berkacamata itu masih tampak serius membuka lembar tiap lembar kertas yang terselip di jemari tangannya. Sesekali mulutnya tersenyum kecil. Sesekali sebelah alisnya menukik. Masih begitu sejak tadi. Sementara aku, mati-matian menahan nervous.
          “Mas.. Ri..??”
          “Riyan Baratha, Mas,” sahutku meluruskan kekeliruan pelafalan pria itu dalam pengucapan namaku.
          “Iya.. Mas Riyan Baratha. Jadi begini.. Hmm.. Menurut saya, naskah berjudul Laki-Laki Langka ini cukup unik.  Sangat menyentuh dan mengena bagi kebanyakan orang. Namun, ada sedikit hal yang mungkin perlu ditambahkan pada beberapa bagian ceritanya. Hmm...”
          Aku menelan ludahku. Bersiap-siap menerima keputusan terburuk atas pengajuan naskahku ini.
          “Jadi, keputusannya...”
          Dadaku kembang kempis. Jantung berdegup kencang tak karuan seperti mau loncat. Keringat malah sudah membanjiri ketiak dan seluruh badan.
          “Selamat Mas, naskah anda kami terima.”      
          Aku tersenyum lepas. Bahagia sejadi-jadinya. Akhirnya, mimpiku menjadi seorang penulis dapat terwujud juga!



Note: Cerpen "Laki-Laki Langka" merupakan 15 cerpen terbaik dalam ajang Lolipop (Lomba Menulis Populer) yang diselenggarakan Kelompok Studi Sastra Islam FIB Universitas Dipenogoro, tahun 2013. Cerpen masuk dalam buku antologi cerpen Lolipop (2013).